Selalu ada perpisahan untuk sebuah pertemuan, apapun itu...
Pada hari kedua, Marie mengabarkan akan pindah mencari hostel/ homestay
yang lebih dekat dengan pusat kota. Dia menyadari bahwa senin adalah hari di
mana kami (saya dan sisil) , mau tidak mau mesti kembali ke rutinitas harian :
Sisil balik kuliah ke Solo, dan aku kembali pada rutinitasku mengunjungi
kampus.
Awalnya sempat terpikir di benak kami, apakah dia tidak kerasan dengan
rumah dan segala fasilitas kami yang seadanya. Tapi begitu kami menanyakan
alasan kepindahannya, ternyata faktor jauh dari pusat kota dan perasaan tidak
mau merepotkan kami di hari senin, Marie memutuskan bahwa hostel di daerah
sosrowijayan adalah pilihan yang terbaik. Karena di sana, dia bisa mengakses ke
berbagai tempat penting di kota jogja. Kami pun pada akhirnya menghargai
keputusannya, dengan menempatkan pemikiran seandainya kami pun berada di
posisinya. Lagipula, Marie merupakan traveler yang punya jiwa mandiri.
Travelling sendirian merupakan kesenangan tersendiri baginya. Ini diperkuat
dengan status lajangnya di usia 48 tahunnya. Marie juga menjelaskan bahwa pada
keesokan lusa, dia akan segera bertolak ke magelang. Dia akan stay di sebuah
pedesaan yang tak jauh dari borobudur. Ada seorang couchsurfer lainnya yang
akan menjadi host baginya. Alam, pedesaan, jauh dari hingar bingar kota,
merupakan hal-hal yang ingin dicari Marie. Ya, Marie mengingatkan kami pada
karakter di film terkenal “Eat, Pray, Love”. Travelling adalah pencarian jati
diri serta perjalanan spiritual tersendiri.
Di hari kedua Marie bersama kami, kami ajak Marie mengunjungi museum
Affandi di siang hari. Selama 6 (enam) tahun tinggal di kota ini, ini adalah
kunjungan pertamaku ke museum yang tak lain adalah gallery display
lukisan-lukisan sang maestro terkenal dari kota gudeg ini_Affandi. Kami datang
tepat satu setengah jam sebelum museum tutup.
Potret Affandi, "The Stories of Affandi" |
Background Foto Favorit Saya : Patung |
Saya pribadi tidaklah begitu mengerti menafsirkan maksud dan keindahan
dari sebuah karya seni bernama lukisan. Tapi saya adalah penikmat seni, apapun
itu. Saya masih ingat bahwa dari sekolah dasar hingga smp, saya suka sekali
menggambar. Puncaknya adalah ketika saya mendapati seorang guru seni, Bu Widie,
yang sangat mahir sekali menggambar. Untuk usia dini tersebut, kami telah
diajari beberapa teknik menggambar yang ternyata diajarkan pada saat bangku
kuliah. Pada saat itu, kami telah diajari bagaimana menggambar rumah
berdasarkan teknik perspektif (dan ini ternyata dipelajari oleh anak-anak
arsitektur di tahun ke-2 !), teknik pencahayaan pada gambar (bahwa arsiran
bayangan tidak boleh berada pada dua sisi, tergantung dari arah mana cahaya
berasal), teknik proporsi wajah manusia (saya berhasil membuat sebuah sketsa
wajah tiga wanita yang tak lain adalah saya_kakak_dan ibu, dalam ukuran A3),
dan puncaknya saya sempat menjadi salah satu perwakilan sekolah di ajang
kejuaran melukis, dan di akhir tahun, tiap-tiap kelas mengadakan pertunjukan
hasil karya selama belajar seni bersama Bu Widie. Sebuah pelajaran yang tidak
saya dapatkan setelah itu (hingga saat ini). Bisa jadi, seandainya saat sekolah
menengah atas, saya bertemu lagi dengan seni menggambar/melukis, mungkin saja
saat ini saya tercatat sebagai mahasiswa DKV (desain komunikasi visual). Tapi
semakin tidak dilatih dan jarang memegang pensil ataupun kuas, membuat saya
tidak luwes menggambar. Atau memang dikarenakan passion saya bukan di bidang
itu.
Ya, berkunjung ke museum adalah hal yang semestinya dibudayakan di
kalangan masyarakat indonesia. Agar kita semua menghargai keindahan sebuah
karya seni, tidak hanya menikmati hasilnya, tapi menghargai sebuah proses
kreatifnya yang tentu saja tak singkat. Ada seribu cerita dan kisah di
dalamnya.
Dari museum, saya dan Marie (tanpa Yasmine yang semula ikut bersama
kami), berkunjung ke salon temanku, Mbak Riris. Bermula dari keinginan Marie
untuk mendapatkan hair treatment, aku pun
bercerita bahwa salah satu kenalan baik ku adalah seorang hair stylish
yang sudah berpengalaman. Lantas kurekomendasikanlah untuk ke sana. Dan tentu
saja, aku begitu percaya diri merekomendasikan tempat itu. Karena mbak riris
tak diragukan lagi dalam hal ini.
Marie melakukan perawatan creambath, dengan massage yang menurutnya
sangat merilekskan tubuh dan pikiran, dia pun menyebut bahwa pijatan mbak riris
mirip dengan Thai Message yang pernah didapatkannya di Paris.
Di tempat Mbak Riris juga, kami pun bertemu dengan sisil. Ternyata
beruntung sekali pada saat kami berada di sana, tak jauh dari tempat mbak
riris, ada sebuah perhelatan rakyat yang diselenggarakan oleh kelurahan
setempat. Pertunjukkan tersebut merupakan rangkaian acara untuk menyambut ulang
tahun kota Yogyakarta. Dan pastinya, di malam harinya, akan diselenggarakan
sebuah pertunjukan tradisional jawa, ‘Telatah Bocah’. Tanpa pikir panjang lagi,
kami pun memutuskan untuk ke sana. Sekaligus sebagai media untuk mengenalkan
budaya jawa pada Marie. Kami merasa beruntung dengan moment yang tepat, dan
tentu saja gratis ini.
Telatah bocah merupakan pertunjukan teater yang sebagian besar
diperankan oleh anak-anak kecil, dan tentu saja dalam bahasa jawa. Karena
memang saya bukan orang jawa, alhasil saya tidak bisa menceritakan jalan
ceritanya kepada Marie. Bahasa jawa sudah seperti bahasa asing untuk saya.
Apalagi tingkatan bahasa yang digunakan dalam teater ini bukanlah tingkatan
bahasa jawa yang sering saya dengar sehari-hari. Jadi selama pementasan, saya
dan Marie hanya menikmati alunan musik gemelan serta tata panggung dan kostum,
berikut gerak tari yang dibawakan pemain. Marie mengabadikannya dalam rekaman
tab nya.
Dari hal ini, saya belajar banyak bahwa betapa nusantara itu kaya
dengan kebudayaan. Kebudayaan kami banyak dan beraneka ragam. Teringat dari
perkataan Virginia, teman kami dari Yunani, menyebutkan bahwa mengelilingi satu
Indonesia, tak ubahnya seperti travelling dalam lingkup satu benua. Ya, negara
kami luas. Butuh berbulan-bulan untuk megunjungi tiap daerah. Saya saja selama
24 tahun tercatat sebagai WNI, pulau jawa adalah satu-satunya pulau yang sudah
saya kunjungi, itupun belum semua. Jadi tak heran jika salah satu teman
indonesia saya mengutarakan untuk menjelajah Indonesia terlebih dahulu sebelum
dia memutuskan untuk travelling ke negara lain. Indonesia sudah cukup baginya.
Kami pulang pada pukul 11 malam. Sebuah rencana tiba-tiba terbesit
dalam pikiranku dan sisil. Ide untuk mengadakan sebuah pesta perpisahan
kecil-kecilan pun terlintas. Ya, setidaknya, kami ingin memberikan sedikit
kenangan bagi Marie selama dia bersama kami.
Baik saya dan sisil segera bergegas mengambil motor. Meskipun dengan
keterbatasan isi dompet saat itu, kami sudah sedikit tahu, hal apa yang akan
kami lakukan.
-To Be Continued-
0 komentar on "FRANCE "Second Day""
Posting Komentar