Kamis, 10 Oktober 2013

FRANCE "Second Day"




Selalu ada perpisahan untuk sebuah pertemuan, apapun itu...




Pada hari kedua, Marie mengabarkan akan pindah mencari hostel/ homestay yang lebih dekat dengan pusat kota. Dia menyadari bahwa senin adalah hari di mana kami (saya dan sisil) , mau tidak mau mesti kembali ke rutinitas harian : Sisil balik kuliah ke Solo, dan aku kembali pada rutinitasku mengunjungi kampus. 

Awalnya sempat terpikir di benak kami, apakah dia tidak kerasan dengan rumah dan segala fasilitas kami yang seadanya. Tapi begitu kami menanyakan alasan kepindahannya, ternyata faktor jauh dari pusat kota dan perasaan tidak mau merepotkan kami di hari senin, Marie memutuskan bahwa hostel di daerah sosrowijayan adalah pilihan yang terbaik. Karena di sana, dia bisa mengakses ke berbagai tempat penting di kota jogja. Kami pun pada akhirnya menghargai keputusannya, dengan menempatkan pemikiran seandainya kami pun berada di posisinya. Lagipula, Marie merupakan traveler yang punya jiwa mandiri. Travelling sendirian merupakan kesenangan tersendiri baginya. Ini diperkuat dengan status lajangnya di usia 48 tahunnya. Marie juga menjelaskan bahwa pada keesokan lusa, dia akan segera bertolak ke magelang. Dia akan stay di sebuah pedesaan yang tak jauh dari borobudur. Ada seorang couchsurfer lainnya yang akan menjadi host baginya. Alam, pedesaan, jauh dari hingar bingar kota, merupakan hal-hal yang ingin dicari Marie. Ya, Marie mengingatkan kami pada karakter di film terkenal “Eat, Pray, Love”. Travelling adalah pencarian jati diri serta perjalanan spiritual tersendiri.

Di hari kedua Marie bersama kami, kami ajak Marie mengunjungi museum Affandi di siang hari. Selama 6 (enam) tahun tinggal di kota ini, ini adalah kunjungan pertamaku ke museum yang tak lain adalah gallery display lukisan-lukisan sang maestro terkenal dari kota gudeg ini_Affandi. Kami datang tepat satu setengah jam sebelum museum tutup. 


Potret Affandi, "The Stories of Affandi"
Background Foto Favorit Saya : Patung
 


Saya pribadi tidaklah begitu mengerti menafsirkan maksud dan keindahan dari sebuah karya seni bernama lukisan. Tapi saya adalah penikmat seni, apapun itu. Saya masih ingat bahwa dari sekolah dasar hingga smp, saya suka sekali menggambar. Puncaknya adalah ketika saya mendapati seorang guru seni, Bu Widie, yang sangat mahir sekali menggambar. Untuk usia dini tersebut, kami telah diajari beberapa teknik menggambar yang ternyata diajarkan pada saat bangku kuliah. Pada saat itu, kami telah diajari bagaimana menggambar rumah berdasarkan teknik perspektif (dan ini ternyata dipelajari oleh anak-anak arsitektur di tahun ke-2 !), teknik pencahayaan pada gambar (bahwa arsiran bayangan tidak boleh berada pada dua sisi, tergantung dari arah mana cahaya berasal), teknik proporsi wajah manusia (saya berhasil membuat sebuah sketsa wajah tiga wanita yang tak lain adalah saya_kakak_dan ibu, dalam ukuran A3), dan puncaknya saya sempat menjadi salah satu perwakilan sekolah di ajang kejuaran melukis, dan di akhir tahun, tiap-tiap kelas mengadakan pertunjukan hasil karya selama belajar seni bersama Bu Widie. Sebuah pelajaran yang tidak saya dapatkan setelah itu (hingga saat ini). Bisa jadi, seandainya saat sekolah menengah atas, saya bertemu lagi dengan seni menggambar/melukis, mungkin saja saat ini saya tercatat sebagai mahasiswa DKV (desain komunikasi visual). Tapi semakin tidak dilatih dan jarang memegang pensil ataupun kuas, membuat saya tidak luwes menggambar. Atau memang dikarenakan passion saya bukan di bidang itu. 


Ya, berkunjung ke museum adalah hal yang semestinya dibudayakan di kalangan masyarakat indonesia. Agar kita semua menghargai keindahan sebuah karya seni, tidak hanya menikmati hasilnya, tapi menghargai sebuah proses kreatifnya yang tentu saja tak singkat. Ada seribu cerita dan kisah di dalamnya.




Dari museum, saya dan Marie (tanpa Yasmine yang semula ikut bersama kami), berkunjung ke salon temanku, Mbak Riris. Bermula dari keinginan Marie untuk mendapatkan hair treatment, aku pun  bercerita bahwa salah satu kenalan baik ku adalah seorang hair stylish yang sudah berpengalaman. Lantas kurekomendasikanlah untuk ke sana. Dan tentu saja, aku begitu percaya diri merekomendasikan tempat itu. Karena mbak riris tak diragukan lagi dalam hal ini.

Marie melakukan perawatan creambath, dengan massage yang menurutnya sangat merilekskan tubuh dan pikiran, dia pun menyebut bahwa pijatan mbak riris mirip dengan Thai Message yang pernah didapatkannya di Paris. 

Di tempat Mbak Riris juga, kami pun bertemu dengan sisil. Ternyata beruntung sekali pada saat kami berada di sana, tak jauh dari tempat mbak riris, ada sebuah perhelatan rakyat yang diselenggarakan oleh kelurahan setempat. Pertunjukkan tersebut merupakan rangkaian acara untuk menyambut ulang tahun kota Yogyakarta. Dan pastinya, di malam harinya, akan diselenggarakan sebuah pertunjukan tradisional jawa, ‘Telatah Bocah’. Tanpa pikir panjang lagi, kami pun memutuskan untuk ke sana. Sekaligus sebagai media untuk mengenalkan budaya jawa pada Marie. Kami merasa beruntung dengan moment yang tepat, dan tentu saja gratis ini.
Telatah bocah merupakan pertunjukan teater yang sebagian besar diperankan oleh anak-anak kecil, dan tentu saja dalam bahasa jawa. Karena memang saya bukan orang jawa, alhasil saya tidak bisa menceritakan jalan ceritanya kepada Marie. Bahasa jawa sudah seperti bahasa asing untuk saya. Apalagi tingkatan bahasa yang digunakan dalam teater ini bukanlah tingkatan bahasa jawa yang sering saya dengar sehari-hari. Jadi selama pementasan, saya dan Marie hanya menikmati alunan musik gemelan serta tata panggung dan kostum, berikut gerak tari yang dibawakan pemain. Marie mengabadikannya dalam rekaman tab nya.



Dari hal ini, saya belajar banyak bahwa betapa nusantara itu kaya dengan kebudayaan. Kebudayaan kami banyak dan beraneka ragam. Teringat dari perkataan Virginia, teman kami dari Yunani, menyebutkan bahwa mengelilingi satu Indonesia, tak ubahnya seperti travelling dalam lingkup satu benua. Ya, negara kami luas. Butuh berbulan-bulan untuk megunjungi tiap daerah. Saya saja selama 24 tahun tercatat sebagai WNI, pulau jawa adalah satu-satunya pulau yang sudah saya kunjungi, itupun belum semua. Jadi tak heran jika salah satu teman indonesia saya mengutarakan untuk menjelajah Indonesia terlebih dahulu sebelum dia memutuskan untuk travelling ke negara lain. Indonesia sudah cukup baginya. 

Kami pulang pada pukul 11 malam. Sebuah rencana tiba-tiba terbesit dalam pikiranku dan sisil. Ide untuk mengadakan sebuah pesta perpisahan kecil-kecilan pun terlintas. Ya, setidaknya, kami ingin memberikan sedikit kenangan bagi Marie selama dia bersama kami.

Baik saya dan sisil segera bergegas mengambil motor. Meskipun dengan keterbatasan isi dompet saat itu, kami sudah sedikit tahu, hal apa yang akan kami lakukan.

-To Be Continued-

0 komentar on "FRANCE "Second Day""

 

aku punya blog !!! Copyright 2008 All Rights Reserved Baby Blog Designed by Ipiet | All Image Presented by Tadpole's Notez