...
Tiga minggu kemudian...
Kaka mengamati sebuah
foto yang terdapat di dompetnya. Sebuah foto
bersama seseorang yang telah dikenalnya. Menjadi salah seorang yang
dekat dengannya, setidaknya itu yang kaka rasakan sejak perkenalan pertama
Azka telah menjadi seseorang yang sangat berarti untuknya,
kehadirannya bahkan melebihi frekuensi serta kualitas pertemuannya dengan aras.
Sementara aras, entah karena telah terbiasa berada pada kondisi dimana mereka
bisa dan biasa untuk tak bertemu bahkan berhari-hari lamanya, membuat kaka tak
merasa kehilangan sama sekali. Sesekali aras mencoba untuk menghubungi via
telpon, dan berkali-kali itu pula kaka memilih untuk berpura-pura tak mengankat
untuk sekedar berkata “hai”. Aras tak coba menghubunginya lebih dari satu kali
dalam satu kesempatan.
Menghabiskan waktu bersama aska, jalan-jalan bersama,
sekedar makan, dan puncaknya...Suatu malam, kaka merasa bahwa aska lebih dari
segalanya. Kaka tau yang dibutuhkannya ada pada aska. Dan saat itu pula, kaka
sadar, bahwa berada dalam jarak yang teramat dekat membuatnya seolah telah
menemukan dunianya. Bukan pada aras, rafa...tapi pada aska. Askalah dunia
keduanya,..
...
Dunia itu tak selamanya berjalan dengan semestinya. Entah
mengapa bayangan aras kembali muncul. Tepat saat tak sengaja kaka membuka
halaman buku yang terdapat foto dirinya dan aras. Di awal-awak masa pacaran.
Sebulan pertama adalah kenangan yang tersisa. Saat baik dirinya maupun aras
sama-sama menyadari bahwa berdua adalah pilihan terbaik dari sekedar berteman
untuk saling mengenal satu sama lain.
Kaka mengamati foto itu. Dia merindukan sosok yang ada di
foto itu...Entah mengapa, perasaan itu kembali muncul. Kaka memandangi tanggal
yang dilingkari merah di kalender dinding. Hari ini aras berulang tahun.
Setidaknya kaka ingin mengatakan sesuatu yang tak sempat untuk diucapkannya....
Untuk pertama kalinya, kaka merasa sangat bersalah...
...
Kaka melangkah turun dari mobil yang diparkirnya di sebuah
halama kafe. Tempat utama yang sering dikunjunginya bersama sesorang...bukan
rafa, ataupun aska. Aska, mengingat sebuah nama itu, ada hal yang lain yang
dirasakannya. Aska menghilang tanpa kabar tepat sejak satu bulan bersama. Satu
bulan yang menandakan bahwa kaka baru saja terjebak dalam sebuah lingkaran yang
tak semestinya.
Ia tak ingin menyalahkan siapapun dalam hal ini. Tidak juga
rafa, orang yang selama ini telah mengenalkannya pada aska. Dan sekarang,
menemui aras adalah satu-satunya hal yang harus dilakukannya. Tak pedulikannya
lagi bagaimana reaksi aras nanti. Yang pasti, kaka datang hanya untuk satu
tujuan, mengantarkan maaf, dan berharap aras akan menerimanya, apapun yang
telah dilakukan kaka.
Kaka menatap bayangan kaca dihadapannya. Sengaja dipilihnya
untuk melakukan semua hal dengan kejutan. Berbekal informasi dari asya, kakak
perempuan aras, kaka bergegas menuju kafe dengan membawa sebuah benda yang
pernah diinginkan aras. Sebuah kue buatannya. Tepat di saat hari ulang
tahunnya.
Kaka bergegas melangkah menuju pintu kafe. Bayangan 5 tahun
bersama berkelibat di benaknya. Aras adalah tipe pemaaf, setidaknya itu yang
menguatkannya saat ini.
Dan betapa terkejutnya kaka...Apa yang dilihatnya berbeda
dengan apa yang selama ini dipikirkannya. Aras, break selama satu bulan ini,
dan...
Kaka tak sanggup
berkata apa-apa lagi. Matanya berair, dadanya sesak, dan pikirannya penuh
melanglang buana ke hal-hal yang selama ini dihadapinya.
Semua terjawab sudah...
“aa....aras ?”
Ucapnya lirih, selirih dengan apa yang kini dihadapan
matanya. Di pojok ruangan kafe, membelakangi kaka, aras tengah berada pada
jarak yang amat dekat dengan seseorang. Bukan rafa, ataupun wanita manapun yang
dikenalnya selama ini...Aras seorang gay ! Tak ayal sekotak kue terlepas dari
genggamannya.
selesai
0 komentar on "Draft Scene Final (no dialog)"
Posting Komentar