Jumat, 13 Desember 2013

Cerita dari Angkringan






sepertinya beberapa postingan saya sebelum-sebelumnya 'ringan' banget. yups, gag ringan-ringan banget sih, cuma saya hanya mau menuliskan apa yang mau saya tulis. Seperti yang dulu pernah saya tuliskan bahwa blog ini tak lebih seperti diari. Sebuah tempat di mana setidaknya saya tidak perlu menjadi siapa-siapa. Bisa menjadi diri saya sebenarnya. Diri dengan dunia saya yang bagi beberapa orang sulit untuk diterima akal sehat, mengingat saya doyan sekali untuk berimajinasi. Imajinasi tak ubahnya seperti 'Neverland' bagi saya, tempat di mana saya tidak menjadi dan beranjak tua. Saya adalah anak kecil di neverland saya.

Oke kali ini saya ingin bercerita tentang salah satu hobby saya, yaitu makan di angkringan. Hidup di kota yogyakarta, dengan wisata kuliner lokal iconicnya yaitu sebuah gerobak makan, yang menjual nasi dan lauk pauk dalam ukuran mini. Dan salah satu menu khasnya adalah 'sego kucing' alias nasi kucing. Karena ukurannya yang mini, sehingga nasi ini disebut nasi layaknya buat dimakan kucing (karena saking kecil ukurannya). Selain nasi kucing yang dilengkapi dengan 'topping' sambal teri kalau gag oseng-oseng tempe, gerobak angkringan juga menjual beragam lauk pauk semisal aneka gorengan, sate (usus, telur puyuh, ampela hati), tempe tahu bacem serta minuman (wedang jahe dkk).

Beberapa orang  menilai makan di angkringan justru menghabiskan banyak uang lebih banyak, meskipun ukurannya mini. Tapi ada sisi lain yang kadang, tidak bisa saya dapatkan di tempat makan umumnya. Kalau di tempat makan biasanya, saya tidak bisa ngobrol dengan pengunjung lainnya. Beda meja, beda kesibukan. Jadi kalau saya lagi pengen menyendiri _saya pasti memilih makan di warung makan pada umumnya. Tapi sebaliknya, angkringan menjadi tempat di mana saya bisa berkenalan dengan orang baru. Orang baru yang tidak hanya beda status sosial, latar pendidikan, tapi juga usia. Yang pasti, saya jarang menemukan perempuan seusia saya yang bisa diajak ngobrol di angkringan. Bagi beberapa wanita, mungkin sedikit tak lazim jika makan di angkringan sendirian, karena notabene mayoritas yang makan di angkringan adalah mas-mas dan bapak-bapak. Tapi bagi saya, gag masalah, malah kalau gag diangkringan, mungkin saya gag bisa ngobrol sama bapak-bapak penarik becak, mas-mas kuli bangunan, mas-mas kantoran, dan sebagainya.

Sebenarnya kebiasaan makan di angkringan sudah saya lakoni sejak semester awal kuliah di jogja. Dulu waktu di tahun pertama kuliah_yang notabene waktu luang saya sangat banyak, tiap hari saya akan makan di angkringan yang berbeda, hanya sekedar untuk melakukan survey kecil-kecilan angkringan mana yang enak plus nyaman. Terkadang enak belum tentu nyaman, dan sebaliknya. Standar enak saya bukan pada lauknya, tapi pada nasi kucingnya. Kalau sambalnya enak, angkringan tersebut enak bagi saya. Karena terkadang ada angkringan yang sambalnya terlalu manis buat lidah 'sumatra' saya.

Berikut 3 (tiga) daftar angkringan yang reccomended versi saya :
1. Angkringan selatan Natasha Care Jakal
sambalnya pas banget sama lidah saya, gorengannya juga gede-gede. Di sini juga yang datang pasti doyan ngobrol.  Sejauh ini, ini angkringan favourite saya.
2. Angkringan Bunderan UGM
buat yang suka nongkrong bareng teman-teman, nih angkringan pas buat didatangi. Di sini yang paling saya suka itu tempe dan tahu bacemnya, plus bebas nambah sambel. Meskipun porsi nasinya agak sedikit menurut saya.
3. Angkringan depan ALDRICH lab, utara fakultas kehutanan UGM
yang saya suka dari angkringan ini adalah nasi kucing dengan sambal ijonya. Plus yang punya angkringan sering ngajak ngobrol.

Tidak hanya sekedar untuk mengisi perut, aktivitras makan di angkringan juga menjadi tempat kita untuk mengisi pengalaman dan kemampuan bersosialisasi dengan segala kalangan. Karena sekarang ini, yang makan di angkringan gag melulu dari mereka yang status ekonomi menengah ke bawah. Bahkan saya pernah bertemu bule yang lagi makan di angkringan. Saya pernah dibayari makan full oleh seorang mas-mas yang lagi travelling ke jogja. Berawal dari ngobrol, eh malah saya dibayarin. Trus saya pernah juga ngobrol dengan mas-mas non-i tapi ternyata fasih surah yasin dan hapal artinya.. Buat saya yang muslim, hal ini tentu menjadi bahan renungan bahwa saya saja yang muslim tidak tahu arti dari surah tersebut.

Ya begitulah sepenggal cerita dari angkringan..
Benar kata salah satu teman saya yang berkebangsaan perancis bahwa jangan sampai hal-hal seperti ini (baca : budaya lokal) tergerus oleh peradaban dan modernitas.

 Karena angkringan..akan menjadi satu dari sekian hal yang akan saya rindukan dari Jogja ..jika suatu hari nanti saya harus meninggalkannya...

 

(lagu yang lagi saya suka dan tiap hari didengarkan, Apa yang dilakukan oleh tokoh dalam video tersebut (menangis sejadi-jadinya di mobil) mengingatkan saya pada hal yang sering saya lakukan jika sedang berkendara, bedanya saya naik motor :D)


0 komentar on "Cerita dari Angkringan"

 

aku punya blog !!! Copyright 2008 All Rights Reserved Baby Blog Designed by Ipiet | All Image Presented by Tadpole's Notez