Tuhan_yang saya panggil,Allah..begitu amat baik. Dia mengabulkan
do’a-do’a saya. Di satu sisi, saya merasa malu karena sampai saat ini saya
bukan pribadi yang religius di mata agama. Shalat saya masih kadang bolong, rencana puasa saya tidak
berjalan lancar,tapi..entah mungkin ada beberapa penilaian lain yang menjadi
pertimbanganNYA, mengapa do’a-do’a saya ini dikabulkan. Saya percaya, bahwa
selama kita yakin bahwa kekuatan Maha Dahsyat itu ada, that’s when the miracle
comes to our life.. Jadi jangan pernah meremehkan kebaikan sekecil apapun yang anda
perbuat untuk orang lain. Karena bisa jadi orang yang anda tolong atau tidak
sengaja anda berikan pertolongan, ternyata diam-diam menyampaikan do’anya pada
Tuhan agar kita diberi kemudahan dalam segala urusan. Thanks God, sampai saat
ini setidaknya meskipun habluminallah saya masih ketar-ketir, tapi insyaAllah
ibadah habluminnanas masih saya pertahankan. Kepada siapapun dalam bentuk
apapun itu. Dan insyaAllah semuanya nothing to loose.
Well, berbicara pada do’a yang terkabulkan, Thanks God salah satu dari
rangkaian do’a terbesar saya baru-baru ini dikabulkan. Gag ada bermaksud ria
dalam menceritakan hal ini, tapi semua lebih kepada keinginan untuk sharing
cerita bahwa sejatinya Tuhan akan selalu mendengarkan do’a-do’a kita, even bagi
kita hal tersebut gag mungkin terjadi dalam waktu dekat.
Bermula dari keinginan saya untuk bisa punya kenalan teman bule di
Indonesia, saya pun mengutarakan niat dalam hati bahwa saya mau hal itu
terjadi. Sebenarnya keinginan punya teman dari luar negeri ini tidak melulu
buat ‘pembuktian’ kepada beberapa pihak, tapi lebih kepada karena saya senang
melakukannya. Ketika mengikuti program summer course di negeri ginseng tahun
lalu, saya akui bahwa disitulah titik mula keberanian saya untuk berkomunikasi
dalam bahasa internasional. Lebih tepatnya saat kesadaran saya muncul bahwa di
forum formal persentasi pun saya bisa melakukan dan melalui proses tanya jawab
dalam bahasa inggris. Artinya segala ketidakpedean saya sebelumnya, tertangkis
dengan satu kenyataan : “the power of kepepet”. Ya, ketika seseorang terdesak,
mau tidak mau dia harus mengeluarkan segala kekuatan yang ada pada dirinya. Dan
itu benar-benar saya alami. Dan satu hal lagi, dari situ saya belajar bahwa
jangan pernah menolak kesempatan yang datang menghampiri kita. Kesempatan baik
pastinya. Karena berdasarkan pengalaman saya _yang saya akui saya pernah dua
kali menolak sebuah kesempatan besar dalam hidup saya_saya belajar bahwa
menolak kesempatan itu tak ubahnya seperti menolak rezeki. Kesempatan selalu
datang (memang) di saat kita berada pada ambang batas antara siap dan tidak.
Tapi disitulah kemampuan mengambil sebuah keputusan kita diuji. Kedewasaan kita
dinilai. Ketika kita belajar untuk mengambil sebuah kesempatan_yang kita tau
itu baik_di saat itu lah segala keajaiban-keajaiban akan muncul. Believe or
not, orang yang berani mengambil kesempatan, ke depannya bakal banyak
pertolongan-pertolongan yang tak disangka-sangka akan muncul. Kalau dalam agama
saya, ada sebuah kutipan dalam ayat Al Quran yang menerangkan bahwa ingatlah
bahwa sesungguhnya pertolongan-pertolongan Allah itu AMAT DEKAT bagi mereka
yang yakin akan datangnya pertolongan-pertolongan tersebut.
Well, kembali ke kesempatan yang muncul pada saya kali ini adalah... di
suatu pagi (saya masih ingat saat itu saya dan teman-teman di LEGOO sedang
berada pada kompetisi bulu tangkis), Suci memberikan tawaran untuk menjadi
guide bagi tamu-tamu asing pertamanya. Semuanya berjumlah sebelas orang ,
berasal dari USA. Mengetahui hal ini tentu di sisi lain , saya senang bercampur
rasa tak percaya. Kok bisa ya, berawal dari rasa galau saya bingung mau kerja
apa setelah saya lulus dengan IPK pas-pasan dan lama masa studi yang saya
tempuh. Ditambah dengan kenyataan bahwa teman-teman saya lainnya telah memiliki
usaha yang sudah berjalan. Berbicara tentang usaha, sebenarnya saya punya usaha
konvensional berjualan cream wajah yang produknya awalnya memang Cuma saya
konsumsi pribadi. Tapi entah mengapa, perasaan bahwa usaha tersebut bukanlah
usaha yang saya mau tekuni dan seriusi kedepannya. Saya yakin bahwa ada usaha
yang sesuai dengan passion saya.
Saya masih ingat ketika mengikuti lomba “The survival game” di acara
ladies gathering beberapa bulan yang lalu di bulan juli. Di situ saya dan team
menjadi pemenang utama, di mana kita turun ke sebuah area tanpa bekal uang dan
peralatan elektronik, dengan misi untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya.
Yang saya yakini pada saat itu adalah memang benar apa yang dikatakan panitia,
bahwa modal terbesar adalah diri kita sendiri. Tuhan sudah memberikan modal
bagi setiap ciptaanNYA sendiri sendiri. Dan modal itu bernama_ BAKAT. Ya bakat
dan passion inilah menjadi dasar saya bahwa saya ingin menjalankan usaha atau
berkarier di bidang yang sesuai dengan passion dan bakat saya. Setidaknya,
sekalipun di bidang itu nantinya akan datang banyak kendala, hal-hal tersebut
lebih bernilai sebagai tantangan, bukan beban bagi saya. Karena apa ? Karena
saya mencintainya.
Kembali ke tawaran Suci tadi, ternyata beberapa hari kemudian, sebuah
hal kontras muncul. Saya tiba-tiba menjadi paranoid, ketakutan berlebihan yang
bermuara pada perasaan bahwa saya tidak percaya pada kemampuan diri. Saya jadi
gag pede. Saya sedikit ‘trauma’ pada kejadian saat pertama kali saya membantu
Suci (yang pada saat itu menelpon saya dari jakarta) , untuk menghandle tamu
dadakannya dari UEA. Begitu saya datang, bayangan obrolan menyenangkan dengan
orang luar, tiba-tiba buyar. Begitu selesai memperkenalkan diri, saya mendapat
sekian banyak komplain, tumpahan keluhan dari keluarga asing tersebut yang
merasa tidak puas dengan pelayanan homestay. Saya jujur tidak tahu menahu
tentang urusan homestay, karena perihal awal, saya hanya diminta tolong menjadi
komunikator bagi pihak homestay kepada tamu asing tersebut. Mereka mengeluhkan
pelayanan homestay yang tidak ready saat mereka datang (kamar belum siap, pagar
depan masih dikunci ,yang membuat mereka harus menunggu selama hampir setengah
jam), lokasi homestay yang ternyata jauh dari pusat kota (malioboro), sehingga
ujung-ujungnya mereka merasa bahwa harga yang ditawarkan tidak sebanding dengan
kualitas pelayanan yang mereka terima. Dan itu, harus saya hadapi sendiri saat
itu. Usut punya usut, ternyata kesalahan pun juga datang dari pihak tamu
tersebut. Karena mereka memaksa untuk tetap masuk, padahal Suci sudah
mengatakan bahwa dia sedang tidak berada di tempat (luar kota). Pihak tamu
mengatakan bahwa mereka telah booking homestay di sebuah website resmi internasional,
tetapi kelirunya_tidak ada komunikasi antara tamu dan pihak homestay sebelum
Hari H. Sehingga hal ini sebenarnya tak lebih hanyalah masalah miskomunikasi saja.
Tapi hal ini cukup membuat saya ‘agak trauma’ sejak saat itu. Ini kali
pertamanya saya dimarah-marahi dalam bahasa asing. Saya takut hal tersebut akan
terulang lagi kali ini.
Sejak menerima tawaran kedua dari Suci ini otomatis separuh pikiran
saya tertuju pada : YA atau TIDAK. Perasaan bersyukur karena do’a saya terjawab
serta mimpi saya menjadi tour guide selangkah lebih dekat, menjadi pertimbangan
saya untuk mengatakan “YA”. Tapi
bayangan dan kekhawatiran bahwa saya akan menghadapi kultur orang asing
dalam dunia bisnis juga menjadi penguat saya untuk mengatakan “TIDAK”.
Berkomunikasi dengan orang asing di dunia non-profit dan bisnis tentu
saja berbeda. Sebelum mendapat tawaran ini, saya sudah berapa kali menjadi host
bagi tamu internasional, serta sebulan berkomunikasi bersama teman-teman
internasional saya dalam program Summer Course ,sedikit banyak menjadi bekal
penguat bahwa saya harus percaya diri. Hal ini sebenarnya bukan hal baru bagi
saya. Tetapi tetap saja, embel-embel “bisnis” , dimana kita dibayar untuk jasa
kita, menjadi beban tersendiri bahwa saya harus melakukan yang terbaik. Dan ini
tentu saja membuat saya kepikiran terus, saya jadi gag tenang, padahal saat itu
liburan panjang lebaran idul adha akan datang. Pernah terbesit untuk menolak tawaran
ini dan kemudian menghabiskan liburan panjang dengan tenang bersama teman-teman
lain dengan pergi berlibur. Tapi pikiran saya adalah jika saya menolak tawaran
ini dengan alasan karena saya ingin berlibur, rasanya sama saja dengan
kenyataan bahwa saya tidak akan pernah berani untuk keluar dari zona nyaman.
Ya, zona nyaman tidak akan pernah bisa membawa kita menjadi orang yang sukses.
Bergegas saya enyahkan keinginan tersebut. Toh waktu akan berjalan cepat, tanpa
terasa durasi waktu 7 hari_akan terlewati mau tidak mau. Well, akhirnya, saya
beranikan diri untuk : SAY YES !. Saya akan mengambil kesempatan itu, apapun
resikonya nanti. Saya serahkan otak dan mulut ini pada yang Maha Kuasa, biar
DIA yang melancarkan semuanya. Niat saya hanya bagaimana agar saya bisa
berkontribusi bagi masa depan saya_yang akan berpengaruh pada sekeliling saya.
Bismillah, saya akan jalani kesempatan ini.
Dan ternyataaaaaaa.....
Apa yang saya takutkan memang benar hanya hidup dalam benak saya saja.
Mereka (baca : ketakutan-ketakutan) tidak nyata.
Selama 7 hari bersama Elise Rooney dkk, menjadi pengalaman yang tak
terlupakan. Saya belajar memahami kultur mereka yang sangat menjunjung profesionalitas
dan privasi. Masyarakat dari belahan dunia barat sangat menginginkan sekali
yang namanya privasi. Bagi kita dengan budaya timur, tentu kultur ini
bertentangan dengan jiwa sosialis kita. Tapi tetap saja, sebagai bagian dari
masyarakat global, selama tidak menimbulkan hal-hal negatif, kita harus
menghormati dan respect terhadap hal tersebut.
Dan buah manis dari semua ini adalah...Finally i got my first salary
dari dunia yang saya cintai ini !!!!. Nominalnya tentu lebih dari -sangat cukup-
bagi saya, dan diluar perkiraan saya. Ya, sejak hari ke-7 lewat, saya yakin
bahwa...bekerja di bidang yang kita capable dan cintai, tak ubahnya seperti
sedang bersenang-senang. Bagi sebagaian orang, saya terlihat seperti hanya
bersenang-senang (dan bisa jadi dianggap kaum hedonis), tapi jauh dari yang
mereka kira, bahwa ketika saya ‘terlihat’ hanya seperti hura-hura, di saat itu
lah saya sebenarnya sedang bekerja membangun tangga-tangga kesuksesan saya. Ya
itu tak lain karena saya ‘have fun’ dalam bekerja. When you’re having fun,
why’re you so serious ?? :P
Last but not least, Percaya pada bakatmu, dan tuntun ‘dia’ menemukan
jalannya. :)
0 komentar on "Chasing The American Dream"
Posting Komentar