Senin, 21 Oktober 2013

Chasing The American Dream










Tuhan_yang saya panggil,Allah..begitu amat baik. Dia mengabulkan do’a-do’a saya. Di satu sisi, saya merasa malu karena sampai saat ini saya bukan pribadi yang religius di mata agama. Shalat saya masih  kadang bolong, rencana puasa saya tidak berjalan lancar,tapi..entah mungkin ada beberapa penilaian lain yang menjadi pertimbanganNYA, mengapa do’a-do’a saya ini dikabulkan. Saya percaya, bahwa selama kita yakin bahwa kekuatan Maha Dahsyat itu ada, that’s when the miracle comes to our life.. Jadi jangan pernah meremehkan kebaikan sekecil apapun yang anda perbuat untuk orang lain. Karena bisa jadi orang yang anda tolong atau tidak sengaja anda berikan pertolongan, ternyata diam-diam menyampaikan do’anya pada Tuhan agar kita diberi kemudahan dalam segala urusan. Thanks God, sampai saat ini setidaknya meskipun habluminallah saya masih ketar-ketir, tapi insyaAllah ibadah habluminnanas masih saya pertahankan. Kepada siapapun dalam bentuk apapun itu. Dan insyaAllah semuanya nothing to loose.

Well, berbicara pada do’a yang terkabulkan, Thanks God salah satu dari rangkaian do’a terbesar saya baru-baru ini dikabulkan. Gag ada bermaksud ria dalam menceritakan hal ini, tapi semua lebih kepada keinginan untuk sharing cerita bahwa sejatinya Tuhan akan selalu mendengarkan do’a-do’a kita, even bagi kita hal tersebut gag mungkin terjadi dalam waktu dekat.

Bermula dari keinginan saya untuk bisa punya kenalan teman bule di Indonesia, saya pun mengutarakan niat dalam hati bahwa saya mau hal itu terjadi. Sebenarnya keinginan punya teman dari luar negeri ini tidak melulu buat ‘pembuktian’ kepada beberapa pihak, tapi lebih kepada karena saya senang melakukannya. Ketika mengikuti program summer course di negeri ginseng tahun lalu, saya akui bahwa disitulah titik mula keberanian saya untuk berkomunikasi dalam bahasa internasional. Lebih tepatnya saat kesadaran saya muncul bahwa di forum formal persentasi pun saya bisa melakukan dan melalui proses tanya jawab dalam bahasa inggris. Artinya segala ketidakpedean saya sebelumnya, tertangkis dengan satu kenyataan : “the power of kepepet”. Ya, ketika seseorang terdesak, mau tidak mau dia harus mengeluarkan segala kekuatan yang ada pada dirinya. Dan itu benar-benar saya alami. Dan satu hal lagi, dari situ saya belajar bahwa jangan pernah menolak kesempatan yang datang menghampiri kita. Kesempatan baik pastinya. Karena berdasarkan pengalaman saya _yang saya akui saya pernah dua kali menolak sebuah kesempatan besar dalam hidup saya_saya belajar bahwa menolak kesempatan itu tak ubahnya seperti menolak rezeki. Kesempatan selalu datang (memang) di saat kita berada pada ambang batas antara siap dan tidak. Tapi disitulah kemampuan mengambil sebuah keputusan kita diuji. Kedewasaan kita dinilai. Ketika kita belajar untuk mengambil sebuah kesempatan_yang kita tau itu baik_di saat itu lah segala keajaiban-keajaiban akan muncul. Believe or not, orang yang berani mengambil kesempatan, ke depannya bakal banyak pertolongan-pertolongan yang tak disangka-sangka akan muncul. Kalau dalam agama saya, ada sebuah kutipan dalam ayat Al Quran yang menerangkan bahwa ingatlah bahwa sesungguhnya pertolongan-pertolongan Allah itu AMAT DEKAT bagi mereka yang yakin akan datangnya pertolongan-pertolongan tersebut. 

Well, kembali ke kesempatan yang muncul pada saya kali ini adalah... di suatu pagi (saya masih ingat saat itu saya dan teman-teman di LEGOO sedang berada pada kompetisi bulu tangkis), Suci memberikan tawaran untuk menjadi guide bagi tamu-tamu asing pertamanya. Semuanya berjumlah sebelas orang , berasal dari USA. Mengetahui hal ini tentu di sisi lain , saya senang bercampur rasa tak percaya. Kok bisa ya, berawal dari rasa galau saya bingung mau kerja apa setelah saya lulus dengan IPK pas-pasan dan lama masa studi yang saya tempuh. Ditambah dengan kenyataan bahwa teman-teman saya lainnya telah memiliki usaha yang sudah berjalan. Berbicara tentang usaha, sebenarnya saya punya usaha konvensional berjualan cream wajah yang produknya awalnya memang Cuma saya konsumsi pribadi. Tapi entah mengapa, perasaan bahwa usaha tersebut bukanlah usaha yang saya mau tekuni dan seriusi kedepannya. Saya yakin bahwa ada usaha yang sesuai dengan passion saya. 

Saya masih ingat ketika mengikuti lomba “The survival game” di acara ladies gathering beberapa bulan yang lalu di bulan juli. Di situ saya dan team menjadi pemenang utama, di mana kita turun ke sebuah area tanpa bekal uang dan peralatan elektronik, dengan misi untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Yang saya yakini pada saat itu adalah memang benar apa yang dikatakan panitia, bahwa modal terbesar adalah diri kita sendiri. Tuhan sudah memberikan modal bagi setiap ciptaanNYA sendiri sendiri. Dan modal itu bernama_ BAKAT. Ya bakat dan passion inilah menjadi dasar saya bahwa saya ingin menjalankan usaha atau berkarier di bidang yang sesuai dengan passion dan bakat saya. Setidaknya, sekalipun di bidang itu nantinya akan datang banyak kendala, hal-hal tersebut lebih bernilai sebagai tantangan, bukan beban bagi saya. Karena apa ? Karena saya mencintainya.

Kembali ke tawaran Suci tadi, ternyata beberapa hari kemudian, sebuah hal kontras muncul. Saya tiba-tiba menjadi paranoid, ketakutan berlebihan yang bermuara pada perasaan bahwa saya tidak percaya pada kemampuan diri. Saya jadi gag pede. Saya sedikit ‘trauma’ pada kejadian saat pertama kali saya membantu Suci (yang pada saat itu menelpon saya dari jakarta) , untuk menghandle tamu dadakannya dari UEA. Begitu saya datang, bayangan obrolan menyenangkan dengan orang luar, tiba-tiba buyar. Begitu selesai memperkenalkan diri, saya mendapat sekian banyak komplain, tumpahan keluhan dari keluarga asing tersebut yang merasa tidak puas dengan pelayanan homestay. Saya jujur tidak tahu menahu tentang urusan homestay, karena perihal awal, saya hanya diminta tolong menjadi komunikator bagi pihak homestay kepada tamu asing tersebut. Mereka mengeluhkan pelayanan homestay yang tidak ready saat mereka datang (kamar belum siap, pagar depan masih dikunci ,yang membuat mereka harus menunggu selama hampir setengah jam), lokasi homestay yang ternyata jauh dari pusat kota (malioboro), sehingga ujung-ujungnya mereka merasa bahwa harga yang ditawarkan tidak sebanding dengan kualitas pelayanan yang mereka terima. Dan itu, harus saya hadapi sendiri saat itu. Usut punya usut, ternyata kesalahan pun juga datang dari pihak tamu tersebut. Karena mereka memaksa untuk tetap masuk, padahal Suci sudah mengatakan bahwa dia sedang tidak berada di tempat (luar kota). Pihak tamu mengatakan bahwa mereka telah booking homestay di sebuah website resmi internasional, tetapi kelirunya_tidak ada komunikasi antara tamu dan pihak homestay sebelum Hari H. Sehingga hal ini sebenarnya tak lebih hanyalah masalah miskomunikasi saja. Tapi hal ini cukup membuat saya ‘agak trauma’ sejak saat itu. Ini kali pertamanya saya dimarah-marahi dalam bahasa asing. Saya takut hal tersebut akan terulang lagi kali ini.

Sejak menerima tawaran kedua dari Suci ini otomatis separuh pikiran saya tertuju pada : YA atau TIDAK. Perasaan bersyukur karena do’a saya terjawab serta mimpi saya menjadi tour guide selangkah lebih dekat, menjadi pertimbangan saya untuk mengatakan “YA”. Tapi  bayangan dan kekhawatiran bahwa saya akan menghadapi kultur orang asing dalam dunia bisnis juga menjadi penguat saya untuk mengatakan “TIDAK”. 

Berkomunikasi dengan orang asing di dunia non-profit dan bisnis tentu saja berbeda. Sebelum mendapat tawaran ini, saya sudah berapa kali menjadi host bagi tamu internasional, serta sebulan berkomunikasi bersama teman-teman internasional saya dalam program Summer Course ,sedikit banyak menjadi bekal penguat bahwa saya harus percaya diri. Hal ini sebenarnya bukan hal baru bagi saya. Tetapi tetap saja, embel-embel “bisnis” , dimana kita dibayar untuk jasa kita, menjadi beban tersendiri bahwa saya harus melakukan yang terbaik. Dan ini tentu saja membuat saya kepikiran terus, saya jadi gag tenang, padahal saat itu liburan panjang lebaran idul adha akan datang. Pernah terbesit untuk menolak tawaran ini dan kemudian menghabiskan liburan panjang dengan tenang bersama teman-teman lain dengan pergi berlibur. Tapi pikiran saya adalah jika saya menolak tawaran ini dengan alasan karena saya ingin berlibur, rasanya sama saja dengan kenyataan bahwa saya tidak akan pernah berani untuk keluar dari zona nyaman. Ya, zona nyaman tidak akan pernah bisa membawa kita menjadi orang yang sukses. Bergegas saya enyahkan keinginan tersebut. Toh waktu akan berjalan cepat, tanpa terasa durasi waktu 7 hari_akan terlewati mau tidak mau. Well, akhirnya, saya beranikan diri untuk : SAY YES !. Saya akan mengambil kesempatan itu, apapun resikonya nanti. Saya serahkan otak dan mulut ini pada yang Maha Kuasa, biar DIA yang melancarkan semuanya. Niat saya hanya bagaimana agar saya bisa berkontribusi bagi masa depan saya_yang akan berpengaruh pada sekeliling saya. Bismillah, saya akan jalani kesempatan ini.

Dan ternyataaaaaaa.....

Apa yang saya takutkan memang benar hanya hidup dalam benak saya saja. Mereka (baca : ketakutan-ketakutan) tidak nyata.

Selama 7 hari bersama Elise Rooney dkk, menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Saya belajar memahami kultur mereka yang sangat menjunjung profesionalitas dan privasi. Masyarakat dari belahan dunia barat sangat menginginkan sekali yang namanya privasi. Bagi kita dengan budaya timur, tentu kultur ini bertentangan dengan jiwa sosialis kita. Tapi tetap saja, sebagai bagian dari masyarakat global, selama tidak menimbulkan hal-hal negatif, kita harus menghormati dan respect terhadap hal tersebut. 

Dan buah manis dari semua ini adalah...Finally i got my first salary dari dunia yang saya cintai ini !!!!. Nominalnya tentu lebih dari -sangat cukup- bagi saya, dan diluar perkiraan saya. Ya, sejak hari ke-7 lewat, saya yakin bahwa...bekerja di bidang yang kita capable dan cintai, tak ubahnya seperti sedang bersenang-senang. Bagi sebagaian orang, saya terlihat seperti hanya bersenang-senang (dan bisa jadi dianggap kaum hedonis), tapi jauh dari yang mereka kira, bahwa ketika saya ‘terlihat’ hanya seperti hura-hura, di saat itu lah saya sebenarnya sedang bekerja membangun tangga-tangga kesuksesan saya. Ya itu tak lain karena saya ‘have fun’ dalam bekerja. When you’re having fun, why’re you so serious ?? :P

Last but not least, Percaya pada bakatmu, dan tuntun ‘dia’ menemukan jalannya. :)





0 komentar on "Chasing The American Dream"

 

aku punya blog !!! Copyright 2008 All Rights Reserved Baby Blog Designed by Ipiet | All Image Presented by Tadpole's Notez