Banyak orang yang sudah melewatkan berbagai pengalaman hidup, pahit manis, suka-duka, dan kesemuaya berada dalam lingkar orang-orang yang secara luar kita anggap "bakal bahagia nan sejahtera tujuh turunan", ternyata dalam sisi sebenarnya, justru menampilkan sesuatu di luar yang duga.
"No Feast Last Forever"
Ya, tidak ada pesta yang abadi. Hidup ini adalah pesta, hanya sebuah pesta. Di mana kita menghabiskan kebahagiaan, kesenangan, bertemu dengan orang-orang baru, intim dalam sebuah pertemuan, dan pada akhirnya....Kita harus melambaikan tangan dan (mungkin) standing applause terhadap orang-orang yang kita jumpai di sana. Ada yang pulang terlebih dahulu meninggalkan pesta, atau bisa jadi_kita lah yang terlebih dahulu meninggalkan pesta. Semuanya diluar rencana besar.
Sepenggal kalimat singkat di atas adalah petikan kalimat utama yang saya ambil selepas membaca buku biografi seorang wanita yang kisah hidupnya ada dalam sejarah, baik sejarah negeri kita maupun dunia. Adalah Oei Hui Lan , memang jika anda pembaca kisah-kisah abad 21, tentu tak begitu mengenal sosok wanita campuran cina-jawa ini. Termasuk saya pribadi. Awal mula saya membaca buku ini ketika seperti biasanya menghabiskan waktu "me time" saya di sebuah "taman bermain" favorite, Gramedia. Dari rak sejarah, saya mendapati sebuah buku biografi yang di depan sampulnya terdapat tanda bahwa buku ini telah mengalami cetak ulang dan menjadi best seller nasional. Karena embel-embel tadi, dan saya juga penikmat buku biografi, alhasil saya ambillah buku tersebut, lantas bergegas mengambil sudut pojok paling utara lantai 2 Gramedia Sudirman, Yogyakarta.
Oei Hul Lan adalah putri kedua dari orang terkaya di Indonesia. Dia hidup pada zaman sebelum perang dunia Ke 2, dan pastinya sebelum Indonesia merdeka. Ayahnya bernama Oei Tiong Ham , adalah pengusaha sukses di bidang kopra, gula, dan candu di wilayah Asia Tenggara. Karena kesuksesannya dalam bidang usaha tersebut, Oei Tiong Ham dijuluki "Raja Gula dari Asia". Usahanya tidak hanya berskala regional Hindia Belanda, tetapi juga berhasil membuka cabang di negara dan benua lainnya. Pada buku tersebut digambarkan bagaimana tingkat kesejahteraan keluarga ini, sehingga memiliki rumah seluas 9,2 Ha dengan arsitektur bergaya eropa dan cina, dilengkapi 200 kamar, ratusan pelayan serta koki pribadi.Rumahnya tak lebih seperti sebuah istana dalam dongeng-dongen klasik.
Namun karena kekayaan yang berlimpah dan akses untuk mendapatkan apa saja menjadi lebih mudah, kehidupan Hui Lan kecil dilalui tanpa kasih sayang kedua orang tuanya. Ayahnya sibuk dengan pekerjaan, dan..gundik-gundiknya (Hui Lan memiliki 42 saudara tiri !), ibu yang hanya sibuk dengan harta dan barang-barang mewah untuk mempercantik diri, serta sang kakak yang setali tiga uang dengan sang ibu. Oleh ayahnya, Hui Lan tidak dimasukkan dalam sekolah umum, meminjam istilah sekarang...Hui Lan menjalani kehidupan sekolah dengan sistem homeschooling, yang mendatangkan tenaga pengajar khusus dari luar Hindia Belanda untuk mengajari Hui Lan 4 (empat) bahasa. Karena hal inilah, ketika menginjak dewasa, Hui Lan memiliki kemampuan bahasa asing di atas rata-rata.
"Harta, Tahta, & Wanita adalah hal yang bisa membuat manusia menjadi lupa"
Ayah Hui Lan adalah tipikal pria yang tidak cukup puas dengan satu wanita (istri). Ketika suatu waktu, Hui Lan mengetahui dari sang kakak, bahwa bibi-bibi yang kerap ditemuinya bersama ayahnya tak lain adalah gundik-gundik sang ayah. Sebenarnya sang ibu telah lama mengetahui hal ini. Sebagai seorang istri yang sah, dan menganut paham cina lama , di mana proses perceraian harus melalui persetujuan kedua belah pihak keluarga, serta akses kemewahan dan kekayaan yang mungkin terlepas jika memilih bercerai dengan suaminya, membuat sang ibu memilih untuk menutup mata dan telinga terhadap hal ini. Kehidupan rumah tangga orang tua Hui Lan tidak lebih hanya sekedar formalitas. Sedangkan bagi ayahnya, bertahan dengan sang ibu adalah upaya untuk tetap mempertahankan kejayaan bisnisnya. Karena sang ibu dipercaya membawa hoki bagi kehidupa finansialnya.
Dalam buku ini, juga dijelaskan bagaimana paham kaum cina lama yang masih memegang teguh adat istiadat perjodohan. Hal tersebut telah lama turun temurun mengakar dalam keluarga tersebut. Kakak Hui Lan merupakan 'korban' pertama dalam misi perjodohan keluarga, bersama seorangg laki-laki satu etnis yang berprofesi sebagai dokter.Padahal, sebelumnya sang kakak terlibat dalam hubungan yang tidak direstui oleh orang tua.
Hal yang sama juga dialami Hui Lan. Cinta pertamanya dengan seorang pria hongkong, yang ditemuinya ketika berlatih pacuan kuda di Singapura, harus kandas. Karena sang ayah tidak menyukai latar belakang laki-laki tersebut. Berkat informasi dari orang kepercayaannya, Hui Lan tahu bahwa laki-laki tersebut masih terikat pernikahan yang sah dan memiliki seorang anak di negara asalnya. Pada awalnya, Hui Lan tetap bersikeras mempertahankan hubungan tersebut, namun lambat laun, laki-laki tersebut tak pernah datang memenuhi janjinya. Hui Lan sadar bahwa hal tersebut tentu ada hubungan dengan kekuasaan sang ayah untuk menggagalkan hubungan tersebut dengan segala cara.
Sampai ketika menginjak usia 18 tahun (di masa itu perempuan sudah dianggap cukup matang untuk menikah), Oei Hui Lan berhasil dijodohkan oleh kakak dan sang ibu dengan seorang diplomat cina untuk amerika yang berstatus duda dengan dua anak. Perjodohan ini merupakan misi dari sang ibu yang ingin mewujudkan impian bahwa sang anak harus bisa dikenal oleh dunia melalui pergaulan kalangan kelas atas.Ya, bagi Hui Lan, akses kalangan kelas atas terpandang, merupakan satu-satunya hal yang tidak bisa dibeli oleh uang ayahnya.Informasi tambahan, selama menetap di kota-kota di eropa, Hui Lan, ibu dan kakaknya mengandalkan uang kiriman dari ayahnya. Apapun yang mereka minta akan selalu diberikan. Karena kemudahan itu pula lah, Hui Lan menjadi satu-satunya orang di Semarang, dan Hindia Belanda yang memiliki kendaraan roda empat, impor langsung dari benua eropa.
Misi sang ibu pun berhasil, meskipun pada awalnya Hui Lan tidak tertarik dengan sang calon yang bernama Wellington Koo, diplomat terkenal dalam sejarah cina yang berhasil mengembalikan sebuah pulau yang direbut oleh Jepang untuk kembali dalam kedaulatan china.
Tidak berbeda jauh dengan sang ayah, meskipun sang suami adalah kaum terpelajar dan disegani, namun kehidupan asmaranya tak pernah puas hanya dengan satu wanita. Beberapa kali, Hui Lan harus mendapat kabar tentang perselingkuhan suaminya dengan rekan kerja yang kerap menemani tugas kenegaraannya. Sekali lagi, pengalaman membuktikan bahwa ketertarikan harta, tahta, dan fisik tak cukup sebagai modal apakah dua manusia bisa menjalankan bahtera pernikahannya dengan mulus hingga berlabuh bersama.
Di sisi lain, sebagai putri orang terkaya di Asia Tenggara, gaya hidup glamour seorang Hui Lan ternyata tak mampu diterima oleh Wellington Koo.Gaya berpakaian dengan perhiasan mewah hasil jerih payah dan hadiah dari sang ayah, kerap menjadi bulanan-bulanan wartawan untuk memberitakan Hui Lan sebagai istri dari seorang diplomat cina yang dinilai "tak tau diri" di tengah situasi ekonomi rakyat china yang dirundung kemiskinan dan kelaparan. Meskipun sekali lagi, perhiasan tersebut tidak dibeli dari uang pemerintah china, ataupun dari gaji sang suami. Perbedaan inilah yang pada akhirnya membuat "pride" seorang Wellington sebagai suami terusik. Pada pernikahan mereka, Wellington menghadiahkan sebuah perhiasan dari uang gajinya, namun bagi Hui Lan perhiasan tersebut lebih murah dibandingkan perhiasan termurah yang pernah dibelinya.
(Edisi Mendatang : Hui Lan mendapat sebuah ramalan yang mengejutkan dari peramal india. Memiliki Anak dan Pertemuan Terakhir dengan sang ayah)
0 komentar on ""No Feast Last Forever""
Posting Komentar