Jumat, 13 September 2013

No Feast Last Forever (Part 2)





Pada akhirnya sebuah pesta akan selalu usai. Tak peduli seberapa lama pun cinderella ingin tetap berada di sebuah peta, jika jam sudah berdentang, maka saat itulah ia harus segera pulang. Begitu juga dengan manusia, pada akhirnya setiap orang memiliki waktu sendiri-sendiri untuk meninggalkan pesta. Baik kita yang meninggalkan, baik kita yang ditinggalkan, ada sebuah kenangan yang tertinggal. Layaknya sebelah sepatu kaca milik cinderella yang tertinggal di pesta. Begitu juga dengan kenangan itu. Entah baik ataupun buruk kesan yang didapatkan selama di sana, pada akhirnya kenangan membuat kita menjadi netral_kembali seperti sedia kala. Layaknya pepatah lama cina yang saya kutip dari buku ini :

“Layang-layang akan terbang selama mungkin di langit, namun pada akhirnya ia akan jatuh ke bumi dan menjadi tak berdaya. Kita akan berpesta selama kita bisa tapi pada akhirnya pesta akan usai dan kita akan hanya ingat tentang kenangan”

Demikianlah pepatah lama yang Hui Lan dapat dalam ‘kehilangan’ pertamanya. Awal dari kehilangan-kehilangan yang sebenarnya. Dalam hidupnya, Oei Hui Lan harus menjadi saksi hidup ,pihak dari yang ditinggalkan dari sebuah ‘pesta’ bernama kehidupan.

Kehilangan pertama, namun tak benar-benar menjadi sebuah kehilangan utuh baginya adalah saat cinta pertamanya harus tamat karena ketidaksetujuan orang tua, serta status personal pihak laki-laki yang tak mungkin terlepas dari ikatan pernikahan yang sah dengan istrinya yang sah. Dari cinta pertamanya inilah, Hui Lan menyadari bahwa segala bentuk suka cita, gemerlap dan hingar bingar kehidupan duniawi yang telah dirasakannya sebagai buah kerja keras ayahnya, adalah hal semu, yang suatu waktu bisa ditinggalkannya. Dan meninggalkannya tanpa pernah bisa berkompromi. Ya, tak seorang manusia pun yang bisa berkompromi dengan akhir dari sebuah kehidupan.

Kehilangan yang kedua, sekaligus menjadi kehilangan terbesarnya adalah ketika sang ayah tercinta harus menjadi orang pertama terdekatnya yang meninggalkannya. Meninggalkannya bersama harta dan polemik yang menyertai sepeninggal ayahnya. Sebuah kisah ironis yang mendahului kepergian sang ayah, berawal dari isi ramalan yang diucapkan seorang peramal india yang tiba-tiba mendatanginya, dan mengatakan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi ke hidupnya. Hui Lan yang besar di lingkungan yang percaya akan hal-hal ‘klenik’ seperti itu menyanggupi permintaan peramal, dan membawanya ke hadapan ayahnya.

“Ayahmu sedang dalam bahaya. Orang-orang di tempat asalnya sedang mengejar-ngejar anda. Dan singapura bukanlah tempat yang aman, bawalah ia keluar menjauh dari negeri ini. Karena sesungguhnya orang-orang yang menjadi musuh ayahmu tak pernah benar-benar pergi dari kehidupannya, ia ada di sekitar”
Ayahnya hanya menganggap apa yang dikatakan peramal tersebut adalah lelucon belaka. Dan menganggap bahwa hidupnya akan baik-baik saja dengan penjagaan orang-orang kepercayaannya selama ini.

“Ambillah kain putih bersih, dan tuangkan bubuk teh ini ke atasnya” suruh peramal itu pada Hui Lan. Dan Hui Lan pun melaksanakan apa yng diperintahkan.

“Setelah itu bawa keluar dan letakkan di bawah sinar bulan, kau akan mendapatkan jawabannya”
Untuk kesekian kalinya, Hui Lan pun melakukannya. Dan betapa terkejutnya dia, begitu mengetahui apa yang jelas ada di hadapan mata yang kini berada di tangannya.

Serbuk-serbuk teh yang dituangkannya menunjukkan sebuah kalimat yang berbunyi

KEMATIAN AYAH

“Ayah, lihat ini, aku melihat jelas apa yang ada dalam ramalan teh ini” Hui Lan mencoba menunjukkan dan menjelaskan pada ayahnya. Namun ayahnya tak melihat sesuatu di atas kain putih yang telah dituangkan teh.
“Me..mengapa hanya aku yang bisa menyaksikannya ?” tanya Hui Lan pada peramal.

“Karena hanya kau lah satu-satunya orang yang benar-benar tulus mencintai ayahmu. Bawalah ayahmu menjauh dari sini sebelum bulan agustus. Jika sampai bulan itu kau tak mampu melakukannya, aku tak bisa menjamin bahwa kau tak akan kehilangan ia selamanya”

Ya, pada akhirnya ramalan itu benar-benar terjadi. Sampai akhir waktu sebelum bertolak ke Hongkong, Hui Lan tetap tak bisa melawan takdir yang harus terjadi pada ayahnya. Di suatu minggu setelahnya, Hui Lan mendapat kabar bahwa ayahnya meninggal akibat serangan jantung mendadak. Dan kecurigaan Hui Lan menjadi-jadi, tertuju pada gundik terakhir ayahnya yang bernama Lucy Ho. Hubungan Lucy Ho dan Hui Lan tak pernah baik. Hal ini didasarkan atas ketidaksukaan sang ibu kepada Lucy Ho, yang dinilai tega ‘mengkhianati’ bibinya sendiri dengan menikah dengan suaminya. Kecurigaan Hui Lan pun berlanjut pada keinginannya untuk melakukan otopsi pada mayat ayahnya. Namun karena hukum singapura yang menganut hukum inggris dimana untuk melakukan otopsi diperlukan izin dari istri yang sah,bukan anak sah dari istri yang sah. Karena sudah terlanjur sakit hati pada ayahnya yang mendalam,  ibunya menyarankan untuk tidak melakukan otopsi, dan mengikhlaskan semua yang terjadi.



"Bila kamu mencintai Tuhan apapun yang hilang dalam hidup kamu, semuanya tidak akan pernah berpengaruh"
-Biografi Putri Orang Terkaya di Indonesia "Oei Hui Lan"-





0 komentar on "No Feast Last Forever (Part 2)"

 

aku punya blog !!! Copyright 2008 All Rights Reserved Baby Blog Designed by Ipiet | All Image Presented by Tadpole's Notez