Senin, 21 Januari 2013

Left in Incheon







“minum obat ini” faza memberikan beberapa butir tablet dan kapsul beserta segelas air. Luhan masih terbaring di sana. Wajahnya pucat. Tapi beruntung, pagi ini nafsu makannya kembali seperti semula.

“bagaimana kabar sekolah kak ?” tanya luhan lirih. Tenaganya masih belum benar-benar pulih.

Faza tersenyum , “ kabar kampus atau kabar seseorang yang hendak kau ketahui ?”
Mendengar itu, luhan tersenyum simpul.

“Dia baik-baik saja. Dia terus-terusan menanyakan kabarmu. Hanya saja...” kata-katanya terhenti. Satu pemikiran tiba-tiba masuk ke dalam otaknya. “a..tidak. Hanya saja saat ini dia tengah sibuk. Mungkin lain kali dia bisa datang menjengukmu”

Luhan tersenyum lega. Diambilnya sebuah amplop putih, “kalau kakak ketemu, tolong sampaikan ini padanya “ ucap luhan, dan menyerahkan sebuah amplop itu pada faza, kakak semata wayangnya. Menerima itu, entah mengapa tangannya bergetar. Jika dia punya hak dan wewenang, faza saat ingin sekali mengetahui isi amplop yang bisa dipastikan adalah sebuah surat.

“ya..akan kusampaikan” ucapnya getir.

...

Halaman  Incheon Senior High School..

“bagaimana kabar adikmu ?” ucap lay , mengambil potongan burger yang dibelinya di kantin sekolah beberapa menit yang lalu. Jam belajar baru saja usai. Tapi baginya, terlalu dini jika harus segera pulang ke rumah.

“hm...masih sama seperti biasanya..Tapi setidaknya, dia sudah mulai mau makan” jawab faza, mencomot burger yang tengah dipegang lay.

“hey, kau belum makan ?” tanya lay, dan dijawab dengan gelengan kepala.”ini, ambillah semuanya untukmu. Aku bisa membelinya lagi nanti”

“tidak usah..aku belum benar-benar lapar” jawabnya menghentikan keusilannya. Lay dan faza tertawa bersamaan. “sudah lama aku tak melihatmu seperti ini” ucap lay pelan.

Hubungannya dan faza memang terbilang dekat. Tapi ya, hanya sebatas dekat. Tidak pernah lebih.Lay belum memiliki keberanian untuk mengatakan perasaannya secara langsung.

“a..aku...sebenarnya..”

Tittttttt...sebuah ponsel bergetar dari dalam saku seragam. Faza buru-buru mengambil ponsel yang tak lain adalah miliknya. Sebuah panggilan masuk. Omma Memanggil.

“yoboseyo,,ne, omma..wae ?” ucapnya.

Lay menghentikan kata-katanya. Telinganya tak mampu dengan jelas menangkap suara dari seberang yang tak lain adalah ibunya faza. Diputuskannya bahwa lagi-lagi saat ini bukanlah waktu yang tepat.

“mwo ???” teriak faza kencang. Membuyarkan lamunan Lay.

...

Luhan menghilang dari kamarnya. Yang tertinggal hanya sebuah kertas bertuliskan..”aku pergi sebentar,akan pulang sebelum makan  malam”. Tapi entah mengapa firasat faza bahwa sesuatu yang tak mengenakkan akan segera terjadi. Kesehatan adiknya memang sedikit membaik, tapi tidak dengan kondisi mentalnya di masa penyembuhan seperti ini.

“apa mungkin dia berada di kafe biasanya ?” tanya lay. Berdua, mereka berjalan menyusuri rumah-rumah teman luhan yang diperkirakan menjadi tujuan  luhan saat ini. Hujan turun dengan derasnya. Beruntung sebuah payung bisa melindungi mereka berdua dari terpaan air hujan. Namun sampai kediaman, Lee Za Fran, sahabat sekaligus teman sekelas  adiknya, luhan tetap tak bisa ditemukan. Faza mulai cemas. Jam sudah menunjukkan pukul setengah 6 sore. Tapi pencarian mereka masih nihil.

“apa mungkin dia ada di sekolah ?” tanya lay lagi.

“ya, kau benar. Luhan berapa kali mengatakan bahwa dia sangat ingin sekali kembali ke sekolah” ucap faza. Tanpa pikir panjang lagi, bergegas keduanya menuju sekolah yang tidak terlalu jauh dari posisi mereka saat ini. Beberapa kali mereka berpapasan dengan teman sekelas yang baru pulang dari sekolah.

“wah..aku tidak begitu tahu. Tapi terakhir tadi, aku tak melihat siapapun di gerbang sekolah” ucap Park Fa Rikh, teman satu eskul basket lay.

Faza dan lay berlalu menuju gedung sekolah. Berdua mereka menaiki anak tangga menuju gerbang. Ya sekolah mereka berada di tempat yang lebih tinggi dibandingkan bangunan-bangunan di sekitarnya. 

Kalaupun benar, bahwa Luhan ada di sini, tidak bisa dibayangkan bagaimana susahnya adiknya itu untuk menaiki tangga itu satu persatu di tengah derasnya hujan sore ini.

Begitu mencapai anak tangga teratas, faza dan luhan bergegas menuju ruang kelas luhan. Tempat yang sangat mungkin untuk pertama kali dituju. Mereka harus beradu dengan jam ditutupnya gerbang sekolah, tiga puluh menit lagi.

“luhan...” faza mengedarkan pandangannya ke sekitar ruang kelas. Dan...

Segera ditujunya adiknya yang telah basah kuyup dan terduduk lemas di pojok ruangan. Bangku miliknya.
Luhan terdiam di sana. Masih terbalut perban yang melingkar di kepalanya.

Faza segera memeluk tubuh itu. Ia tahu, sesuatu yang tak mengenakkan itu telah benar-benar terjadi.

“ke...kenapa kau berbohong padaku,kak” ucap luhan pelan. Air matanya mengalir dari kedua sudut matanya.

Faza terdiam terpaku. Dilihatnya selembar kertas yang berada di atas meja. Ia tak mampu berkata-kata apalagi.

“i...ini, dari mana kau mendapatkannya ?” tanya faza dingin.

“kau..kenapa kau tak mengatakan bahwa choi merry hilang dalam pendakian itu..dan belum ditemukan hingga sekarang ??”

Faza tak bisa berkata apa-apa lagi. Sesuatu yang ditakutkannya telah terjadi. Luhan telah tahu bahwa merry tidak selamat dalam pendakian itu. Pendakian yang membuat luhan harus menjalani operasi pemulihan atas benturan kepala yang dialaminya. Merry adalah seorang yang sangat special bagi luhan. Dan sebelum sempat luhan mengatakan perasaan yang sebenarnya, pendakian itu telah menggagalkan semuanya. Merry dikabarkan hilang setelah terjatuh ke jurang demi menyelamatkan luhan.

“mi...mianhae....nan jeongmal mianhae...”

Dari arah pintu kelas, lay menatap pemandangan iba dihadapannya. Sesuatu mengusik pikirannya. Sesuatu yang harus segera dilakukannya.

...

Seminggu Kemudian...

Lay mengambil posisi berdiri tepat menghadap pemandangan kota seoul dari atas bukit namsan. Ia sekarang berada di bawah namsan tower, bersama ribuan gembok yang tersangkut di pagar. Digenggamnya sepasang gembok berwarna merah dan biru yang dibelinya di toko souvenir di bawah. Hari minggu merupakan hari terpadat di namsan tower, banyak turis berdatangan.

“hey..” sebuah suara muncul dari arah belakang. Lay menolehkan pandangannya. Faza di sana.

“kau datang sendirian ?” tanya lay, disertai anggukan faza.”dan kau sendiri, sudah lama di sini ?” faza berjalan mengambil posisi tepat disebelah lay.

“baru saja..baru satu jam yang lalu” ujarnya bohong. Membuat baik faza maupun diirnya sama-sama tergelak.

“bagaimana kabar luhan ?”

“sudah agak mendingan.Uri omma memutuskan untuk membawanya ke daegu. Akan lebih baik jika dia bersekolah di sana. Dan melupakan semuanya pelan-pelan” jelas faza. Matanya menatap ke jauh seberang sana. Kelokan sungai han membuat perasaannya terasa lega. Minggu ini adalah minggu terakhir di musim gugur. Hujan sudah mulai berhenti, bergantikan dengan semilir angin dingin penanda musim akan segera berganti. Dua minggu lagi sudah dipastikan salju akan turun.

“daegu ?” tanya lay penasaran.

“ya..kami sekeluarga akan pindah ke sana. Appa memiliki perkebunan buah di sana. Incheon dirasa  tidak begitu kondusif untuk pemulihan kesehatan luhan”

Entah mengapa mendengar penjelasan faza, musim dingin mendadak  datang begitu cepat bagi lay.
“pi..pindah ?”

Faza menoleh. Dan mengangguk mantap. Butira bening tiba-tiba menggenangi sudut matanya. Dan itu, lay bisa melihat itu.

“incheon telah memberikan banyak kenangan untukku...” lanjutnya singkat. “untuk itulah mengapa ketika pertama kali mendengar kabar ini, yang bisa kulakukan hanya ....hanya ini” tunjukknya pada kedua matanya. Kali ini faza benar-benar menangis.

Refleks lay mendekap tubuh faza.Membuat faza kaget setengah mati. Ini pertama kalinya mereka berada dalam jarak yang amat sangat dekat.

“Goo Faza..a...nan mianattta..gobaekalkeyo..nan, nol saranghae..” ucapnya pada akhirnya. Lay semakin mendekap erat faza. Dia tidak ingin melihat bagaimana reaksi faza saat ini. Yang dia tau, dia tidak ingin kebersamaan seperti ini akan berakhir.


Sementara itu, dari belakang punggung lay, faza yang semula hanya mampu terdiam, perlahan mengangkat kedua tanggannya, dan merentangkannya di tubuh lay.

“na..nado..untuk itulah aku datang ke sini” ucapnya pelan. Membuat perasaan lay tak keruan lagi bahagianya.

Angin di akhir musim gugur menerbangkan anak rambut keduanya. Dari jauh, luhan tersenyum lega. Ia bahagia, bahwa kakaknya telah menemukan orang yang tepat untuknya. Sementara itu, bayangan choi merry perlahan menjauh dari pikirannya. Sebuah kehidupan baru akan segera dimulai. Dan luhan, ia yakin akan menemukan kehidupan yang jauh lebih baik dari ini.


...selesai...

0 komentar on "Left in Incheon"

 

aku punya blog !!! Copyright 2008 All Rights Reserved Baby Blog Designed by Ipiet | All Image Presented by Tadpole's Notez