Sabtu, 05 September 2015

Hello September!




Merantau lah selagi muda, tapi jangan sangka merantau itu mudah..

Ya, kali ini pengen cerita tentang suka dukanya merantau. Merantau yang paling sederhana itu adalah kuliah di luar pulau (jawa bagi yang asal sumatra seperti saya). Hampir setengah lebih dari putra-putri daerah pasti sudah mengalami yang namanya merantau. Tapi semakin ke sini, saya sadar bahwa kata "Merantau" itu berlaku secara sah_justru bukan di kondisi masih menjadi mahasiswa. Merantau paling sah itu justru ketika anda berani untuk menetap di pulau/kota lain dengan kondisi segala biaya ditanggung sendiri. Makan, akomodasi, dan biaya-biaya operasional lainnya. kalau masih berstatus mahasiswa, tentu gag bakal kepikiran tiap uang bulanan. Karena orang tua masih dengan legowo mengirimi tiap bulan. Jadi "rasa aman" di tempat orang masih tinggi. Gag bakal kepikiran tar makan pake apa, gimana bayar uang kostan kalau udah ditagih, gimana kalau bensin habis berbarengan dengan uang habis, dan sebagainya. Gag bakal anda rasakan. Kecuali kalau anda kuliah dengan biaya yang dicari dengan hasil keringat anda sendiri (bukan dari suntikan dana orang tua). Hal ini akan sangat jauh berbeda ketika anda merantau setelah kuliah. Dan inilah yang ingin saya bagi di sini..

Begitu lulus kuliah pada tahun 2014, akhirnya karena keinginan pribadi dan didukung oleh suatu kondisi, akhirnya saya memutuskan untuk stay di Jogja. Bekal 7 (tahun) sebelumnya di Jogja, cukup membuat saya pun makin tidak ingin meninggalkan kota ini, dan mencoba peruntungan di kota besar lainnya, semacam Jakarta (yang notabene lebih dekat dari Belitung). Jogja memang cukup primadona hanya sebagai kota tujuan menimba ilmu, bukan mencari uang. Terlebih bagi beberapa jurusan di mana di Jogja sangat minim sekali perusahaan/industri, jadilah mencari pekerjaan di Jogja tentu tak bisa dengan begitu mudah. Belum lagi mesti bersaing dengan putra-putri daerah dengan kemampuan bahasa lokal yang sangat mendukung sekali untuk mendapatkan pekerjaan di sektor-sektor tertentu. Apalagi bagi saya yang meskipun sudah sedemikian lama tinggal di Kota gudeg ini, keterbatasan bahasa Jawa membuat saya terkendala untuk mendapatkan pekerjaan yang menuntut komunikasi dengan klien yang kebanyakan adalah mereka yang menggunakan bahasa Jawa secara dominan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menjadi kendala dan tantangan besar selain ada persyaratan mutlak di mana mengharuskan si pelamar (pekerjaan) memiliki KTP Jogja. Jadilah beberapa kali saya harus merelakan pekerjaan yang sebenarnya sangat relates sekali dengan background pendidikan sarjana saya yang memang erat berkaitan dengan pemerintah daerah.

Setelah kurang lebih hampir satu tahun bekerja di pekerjaan kontrak, jadilah tepat setelah kontrak kerja berakhir saya kembali jobless, beralih status menjadi jobseeker di usia saya yang jelas bukan tergolong fresh graduate lagi. Hampir 5 bulan saya lalui pekerjaan ala kadarnya. Dari mulai menjadi tenaga entry data kontrak selama satu bulan (dan karena kinerja dan hasil kerja saya dinilai bagus sama atasan, alhasil kontrak saya diperpanjang satu bulan) dengan gaji kurang lebih setengah dari upah UMR Jogja. Setelah itu saya pernah bekerja sebagai juru ketik dengan upah 30.000/hari, membantu seorang mahasiswa magister yang tengah recovery pasca kecelakaan dan membutuhkan tenaga untuk mengetik (karena tangan kanannya dipasang gips). Upahnya ? kontrak saya hanya satu bulan. Dan saya hanya bertahan dengan penghasilan yang harus saya alokasikan menjadi beberapa pos (kostan, makan, operasional, serta angsuran bulanan). Jumlah yang terkadang membuat saya miris, nangis sendirian, mutar otak gimana buat bertahan hidup di kota ini. Alhasil makan pun kadang seadanya, kalau gag di burjo, di angkringan.

Beruntung saya tidak melaluinya sendiri. Ada Po yang selalu ada, yang selalu berbagi dengan prinsipnya "Kalau aku makan A, kamu pun juga harus makan A", bisa dibilang, separuh biaya hidupku ketika di posisi aku gag punya uang lagi, dia yang tanggung. Dan sampai di tahap di mana kita pernah sama-sama udah gag punya uang lagi. Uang yang kita dapatkan hanya dari hasil upah akhir jualan pisang ijo (bareng teamnya pas bulan ramadhan).Dan itupun baru dikasih pas akhir masa jualana. Yang artinya selama menuju ke arah sana, berarti kita harus benar-benar berhemat. Syukur-syukur dapat sumber penghasilan lain.

Dan Allah menjawabnya..sampai akhirnya kita nemuin sumber penghasilan dari online marketing, yang alhamdulillah penghasilannya kalau dibagi 2 _ masing-masing akan dapat gaji maksimum ketika aku masih bekerja sebagai asisten peneliti di pusat studi. Sekarang sedikit demi sedikit, kita udah mulai bisa mandiri. Membiayai hidup kita sendiri, sebelum benar-benar lepas dari bantuan siapapun, termasuk orangtua. Kalau sekarang, karena Po masih berstatus sebagai mahasiswa yang tengah merampungkan tugas akhirnya, kadang-kadang orangtuanya masih mengiriminya uang bulanan. Uang bulanan yang dulu kerap digunakannya untuk membiayai hidupku, ketika semua tabungan bersama kita keluarkan untuk suatu kepentingan yang lebih penting. Tapi sejak bulan Agustus kemaren, Po mulai perlahan mengikuti jejakku, mandiri secara finansial, semua serba ditanggung sendiri. Ya, itulah arti belajar hidup, sebelum waktu datang di mana kami harus benar-benar mengarungi kehidupan sendiri (baca : berkeluarga).

Lagi-lagi, merantau itu bukan pekerjaan yang mudah.. Jauh dari keluarga menahan kangen ketika lagi ada masalah/sakit, bertahan untuk tidak membebani orang tua , dan berpikir bagaimana agar tidak menjadi beban pikiran orangtua karena kondisi yang bagi mereka "belum mapan" ini.

Semoga Allah selalu menguatkan kami di sini...
Alhamdulillah Aamiin

Yogyakarta, Kamar Kos Papringan
12.50 AM (kepikiran pengen nulis sebelum tidur)

0 komentar on "Hello September!"

 

aku punya blog !!! Copyright 2008 All Rights Reserved Baby Blog Designed by Ipiet | All Image Presented by Tadpole's Notez