Bangunan bertingkat empat ini memang
tidak setinggi bangunan dengan fungsi sejenis lainnya. Tapi tetap
saja sama saja keadaannya dengan bangunan tingkat sekian puluh tapi
dengan kondisi _terdapat lift pengangkut ke setiap lantai yang ada.
Tapi ini tidak berlaku dengan apa yang tengah dialami langit.
Nafasnya memburu. Belum hilang
sisa-sisa keletihan perjalanan panjang dari indonesia-KL-incheon,dan
sekarang mau tak mau harus menyeret koper maroonnya hingga lantai
empat.
“Aku akan pergi sebentar dulu, ada
yang harus kukatakan pada salah satu temanku. Setidaknya mereka harus
tau kalau kau akan menumpang di tempatku_dalam waktu yang tidak bisa
diperkirakan”
Kwang jo memberikan sebuah kartu kepada
langit, sesaat sebelum langit memulai “penderitaan”nya
menyeret-nyeret kopernya menaiki tiap anak tangga menuju lantai 4,
tempat di mana kamar kwang jo berada.
“begitu tiba di lantai 4, kamar yang
paling ujung, itulah kamarku. Masuk saja, dengan cara menempelkan
kartu ini ke sebuah mesin yang ada di samping pintu”
Kenapa di bangunan setinggi ini tak ada
fasilitas lift setidaknya untuk mengangkut barang-barang besar..pikir
langit.
“dengan gaya hidup seperti ini ,
tidak heran kalau orang korea kebanyakan gag gemuk” langit
berbicara sendiri, ia kini tiba di lantai 3.
Ia memandangi pantulan bayangannya di
cermin yang ada tepat begitu dia tiba di lantai 3. Peluh keringat
membanjiri wajahnya. Penampilannya sudah tidak keruan lagi bentuknya.
Anak rambut yang mencuat kemana-kemana, wajah berminyak kusamnya_yang
menandakan harus segera mandi dan berbenah diri,dan...bajunya yang
sudah dan memang gampang kusut_semakin terlihat tak keruan lagi
penampakannya.
“fighting ! “
Langit melanjutkan kembali
perjalanannya. Jarak antara satu lantai dengan lantai lainnya
dipisahkan oleh dua kelokan tangga, satu tangga terdiri sekian banyak
anak tangga, tidak tentu jumlahnya. Di lantai bawah tadi, langit
begitu bersemangat menaiki anak tangga yang jumlahnya tak sebanyak
dengan anak tangga yang saat ini tengah dinaikinya. Dan semakin ke
atas, entah perasaannya saja atau bagaimana...jumlah anak tangga ini
semakin banyak.
“di korea, jangan harap kau akan
pergi kemana-mana dengan berkendara mobil, Budaya mereka lebih suka
naik transportasi umum ketimbang naik kendaraan pribadi ke mana-mana”
langit teringat pesan sally beberapa hari yang lalu.
Beruntung bekal hidup selama di
singapore yang mengharuskannya ke mana-mana berpindah jalur MRT,
sedikit banyak mengurangi kekhawatirannya akan kondisi yang akan
dialaminya selama di korea. Tapi tidak dengan menyeret-nyeret koper
besar menaiki anak tangga sebanyak ini.
“arrgggggg.....akhirnya sampai
jugaa....”
Langit menyenderkan badannya ke
dinding, setelah pada khirnya dia berhasil mencapai anak tangga
terakhir. Berbeda dengan lantai-lantai sebelumnya, karena ini adalah
lantai paling atas, sekaligus rooftop, pasokan cahaya matahari lebih
banyak dibandingkan sebelumnya. Bedanya lagi, lorong2nya lebih sepi.
Entah karena di jam segini adalah waktu kerja penghuninya, atau
memang kondisinya selalu senyap seperti ini.
Langit berjalan menuju bagian outdoor
tempat dimana mesin-mesin air conditioner berukuran sebesar kulkas
dan beberapa penggantung jemuran ada. Ditinggalkannya kopernya,
langit berjalan keluar. Menghirup udara segar, dan melemparkan
pandangannya ke sekeliling. Atap-atap bangunan, jalan layang dengan
lalu lalang kendaraan, serta sekomplek luas warna hijau menarik
perhatian langit. Lapangan berwarna hijau dan tertata rapi, tak lain
adalah lapangan bola sebuah bangunan sekolah daerah setempat. Langit
berdecak kagum, kali ini bayangan sekolah yang kerap ditemuinya di
drama-drama korea dimana tokohnya merupakan anak SMA, memang sesuai
dengan realita yang tengah dilihatnya sekarang.
“Kalau saja sekolah-sekolah di
indonesia seperti ini...”
“ya ! langit-ssi..apa yang tengah kau
lakukan di sana ?” sebuah suara membuyarkan pikiran langit. Langit
menoleh ke arah sumber suara berasal. Kwang jo berdiri di pintu yang
memisahkan outdoor dan indoor lantai empat.
“Urusanmu sudah selesai ??” tanya
langit,seingatnya baru berapa menit yang lalu kwang jo memberikan
kartu masuk untuk dirinya, dan sekarang..
“Kau belum masuk ke kamarku ?”
tanya kwang jo, sembari menunjuk koper yang masih tergeletak
ditinggalkan langit di ujung tangga.
“aaa..mianhaeyo..”
Langit buru-buru berjalan mengambil
koper yang ditinggalkannya. Kwang jo mengehela nafas lega, untung
saja dia belum benar-benar terlambat..
“ayo masuk”
Mereka berdua berjalan menuju kamar
bertuliskan angka 426 yang terletak di ujung ruangan. Langit
memberikan kartu yang tadi diberikan kwang jo padanya. Kartu yang
berukuran seperti kartu atm atau kartu id lainnya itu tak lain
adalah kartu masuk yang harus ditempelkan pada mesin pendeteksi.
Setelah berhasil mengeluarkan tanda berbentuk O berwarna hijau pada
layar hitam, barulah pintu akan bisa dibuka. Jadi meskipun di pintu
ini terdapat gagang pintu, untuk dapat masuk, kita harus menggunakan
kartu berwarna ungu ini, yang bertuliskan beragam deretan huruf
hangul_yang langit sendiri tidak tau apa artinya.
Pintu pun terbuka..Lampu masuk
otomatis menyala begitu mereka memasuki dalmnya. Terdapat tiga pasang
sepatu yang tersusun rapi di “teras mini” menuju ruangan
lainnya.
Langit melepaskan sepatunya, menyeret
kopernya, dan..betapa terkejutnya dia.
“selamat datang..ini lah rumah
kecilku”
Kwang jo berjalan terlebih dahulu
memasuki ruangan yang tak lain adalah ruang tamu merangkap ruang
nonton. Memang tidak ada sofa, hanya satu buah meja berikut televisi
dan beberapa bantal duduk yang tak lebih berjumlah tiga buah. Dan...
“kau tidak menyiapkan semua ini untuk
menyambutku kan ?”
“ne ?” kwang jo menolehkan
kepalanya ke arah langit, setelah sebelumnya mengambil remote dan
mengatur temperatur air conditioner ruangan.
Menyadari kwang jo sepertinya tidak
mendengar kata-katanya barusan,,langit buru-buru menambahkan
“aa...ani...thank you”
“it’s okay. Anggap lah seperti
rumah sendiri. Mm..aku minta maaf kalau tidak bisa memberikanmu
fasilitas yang lebih baik”
Mwo ?? lebih baik ? oh man...ini sudah
lebih dari cukup ! batin langit.
Entah karena budaya orang korea yang
suka akan kerapian dan kebersihan, langit merasa tingkat kebersihan
kwang jo benar-benar di atas standar yang mampu di capai langit.
Lantai kayu yang begitu terawat dan..mmm, gag ada debu yang terasa
menempel kaki. Penerangan yang cukup, hawa ruangan yang jauh dari
istilah “apek” untuk standar rumah yang didiami oleh seorang pria
lajang, dan...wow...
Mata langit membelalak begitu
membalikkan badan melihat sebuah ruangan yang tak bersekat batas
dengan ruangan tamu ini...dapur kecil lengkap dengan perabotan masak,
mencuci, lemari gantung tempat meletakkan peralatan makan, sebuah
kulkas dan...meja makan terdiri dari emapat buah kursi yang diatasnya
terdapat buah dan beberapa botol jus yang diatur sedemikian rapi.
Kwang jo memang benar-benar tipikal laki-laki yangamat sangat
tertata.
Tempat tinggal ini memang tidak seluas
flat yang didiami langit semasa kuliah di singapore, tapi...bagaimana
kwang jo menata semuanyalah yang membuat tempat ini membuat langit
merasa nyaman, bahkan tidak terpikir untuk pergi berjalan-jalan
keluar. Cukup menikmati pemandangan luar banguann2 tinggi dan fly
over yang bisa dinikmati hanya dengan duduk-duduk di ruang tamu yang
tak bersofa ini. Selebihnya, teradapat tiga ruangan berpintu, yang
saling berdempetan satu sama lain.Satu dianataranya berukuran lebih
kecil dibanding dua ruangan yang mengapitnya di sisi kiri kanan.
“Itu kamar mandi, kalau kau mau
mandi..aku akan bersihkan dulu. Karena ada satu ember pakaian yang
kurendam tadi pagi, tapi karena buru2 pergi ke kantor kemudian
menjemputmu..jadi aku tak sempat mencucinya “
“wow...kau mencuci sendiri semua
baju-bajumu ??” langit setengah berteriak.
“ne,waeyo ?” kwang jo bertanya
dengan heran. Baginya, mencuci sendiri semua bajunya adalah hal yang
lumrah dilakukan, mengingat dia tinggal sendiri tanpa pembantu
ataupun orang tua di sini.
“aa..ani” lagi-lagi langit
mengatakan hal yang sama. Keterkejutan-keterkejutan kecil yang
dirasakannya membuat langit akhirnya bisa menyimpulkan sendiri
bagaimana kwang jo sebenarnya.
“well... aku rasa sekarang saatnya
untuk istirahat sebentar..mm, kira-kira dimana aku bisa meletakkan
barang2 ini ?” ucap langit. Pandangannya bergerak menuju dua buah
ruangan tertutup yang tak lain adalah kamar tidur. Dan salah satu
diantaranya adalah kamar tidur tamu,pikir langit.
“mmm...” kwang jo berpikir keras.
Ada hal yang tidak bisa dilakukannya saat ini.
“mm...kau bisa meletakkannya di sana”
tunjuk kwang jo pada ruangan yang berada di sebelah kiri kamar mandi,
berdekatan dengan ruang makan merangkap dapur kecil.
“mm...dan kau bisa beristirahat di
sana “lanjutnya lagi.
Langit bergegas menarik koper, dan
membuka pintu kamar yang tidak terkunci,
“mwo ??” sebuah suara keterkejutan
tak lain berasal dari mulut langit sendiri, mebuat kwang jo sedikit
kaget.
Kwang jo bisa mengerti apa yang kini ada di pikiran langit.
“errr...kwang jo-ssi...rrr..benarkah
kau akan menempatkanku di kamar ini ?”
Langit menoleh ke arah kwang jo,
meminta penjelasan dengan apa yang baru dilihatnya sekarang.
Kwang jo meringis pelan.Mengacak
rambutnya dan kemudian membenarkan letak kacamata yang sebenarnya tak
melorot dari hidungnya. Kwang jo berusaha mencari penjelasan yang pas
untuk pertanyaan langit barusan.
Di satu sisi, dia tidak enak hati
mengatakan “ya, itulah kamarmu selama di sini” pada tamu jauhnya_
tapi di sisi lain, sangat tidak mungkin jika ia memberikan kamarnya
pada langit, sekalipun dia bisa saja tidur di ruangan tamu. Toh
setiap malam, dia selalu melakukan hal yang sama, jika tanpa sengaja
tertidur saat menyaksikan tayangan tv larut malam. Tapi...bukan itu
yang menjadi alasannya...
Kwang jo hanya mampu mengangguk pelan.,
yang kemudian menyebabkan langit semakin tidak bisa berkata apa-apa.
Speechless.memastikan bahwa tidak ada kekeliruan yang tertangkap dari
sorot mata kwang jo.
Sedetik selanjutnya,Langit menoleh
kembali ke arah belakangnya. Mengintip dan membuka pintunya semakin
lebar.Ia memutuskan untuk menerima “kenyataan” ini pada akhirnya.
Sudah dikasih tumpangan hidup selama sebulan saja, itu sudah lebih
dari cukup. Tidak terpikir olehnya jika saat ini dia tengah
terkatung-katung tak jelas tujuan di tengah keramaian kota seoul,
sembari menyeret kopernya ke setiap posisinya berpindah.
Langit menarik nafas panjang.
Ruangan ini memang sama bersih dengan
ruangan lainnya.Tidak ada sampah kertas berserakan, pencahayaan yang
cukup, dan tidak ada didebu. Tapi.. dengan tumpukan buku yang
tersusun rapi di dua buah rak buku setingginya, dan satu set meja
kerja berisi tumpukan dokumen dan notebook mac yang tergeletak sangat
amat rapi..membuat langit menarik sebuah kesmipulan : ia akan
tinggal,tidur, menyusun peralatan-pearalatan pribadinya di ruangan
yang lebih tepatnya disebut ruangan kerja ketimbang_ kamar tidur
tamu.
Oh, Betapa anehnya menjadikan ini kamar
tidur -_-. Pikir langit.
0 komentar on "Loveable Namsan (ep 4)"
Posting Komentar