




suka hujankah ?
sangat normal sekali jika yang menjawab "ya" adalah kaum hawa. Bagaimana jika yang demikian sebaliknya,mungkinkah ??
Tidak, saya tidak ingin memasukkan genderisasi dalam hal ini. Bagi saya, siapapun anda, laki-laki atau perempuankah, gelap terang, apapun bentuk, dan dari mana anda berasal, jika memiliki pemikiran yang sama bahwa anda juga menyukai "situasi" ini Ok, silahkan baca lebih lanjut lagi...
Hujan turun,
tak pernah membuat saya takut, sekalipun ia datang bersama petir atau gemuruh angin.
Ya, saya pernah membahas,lebih tepatnya menyinggung sedikit, bagaimana saya menyukai hujan dalam keadaan bagimanapun ia. Terdengar sentimentil memang. Tapi itulah sisi lain dari seorang seeta (jika tidak ingin dibilang narsis). Pernah suatu waktu, terdapat masa dimana saya benci hujan. Hujan seolah menertawakan saya, mengingatkan saya atas "kecengengan" melawan semua yang pernah terjadi. Saya memiliki dejavu atas itu. Dan itu berlangsung hingga akhirnya,saya menyadari,justru hujanlah yang membuat saya akhirnya "menang". Memenangkan pertarungan bahwa tanpa kehadiran "somebody else" dalam hidup sayapun, toh saya masih bisa melakukan meditasi batin. Saya mampu merasakan ketenangan itu.Jadi, tak benar jika kita (dalam hal ini saya pribadi tentunya) berpendapat bahwa kesendirian ini harus selalu dibagi...(hahaha, saya pernah menuliskannya di wall status akun facebook saya).
Ok, begitulah singkatnya awal mula saya menyukai hujan.
Kembali ke pernyataan, "jika anda memiliki pemikiran yang sama dengan saya",silahkan baca lebih lanjut lagi...
Suatu saat, dulu, saya pernah mencoba menerapkan sedikit ilmu yang saya dapat ketika masih tergabung aktif dalam komunitas teater yang pernah saya ikuti dari kecil hingga beranjak remaja. Sebelum memulai latihan kegiatan jenis teater hari itu (seni perankah, melukis, ataupun membaca puisi seperti yang paling saya gemari, dan kuasai...(hehe, maaf terdengar narsis)), masing-masing dari kita dibimbing untuk melakukan sedikit meditasi ringan, berupa menarik nafas dalam, menahannya dalam hitungan beberapa detik, kemudian menghembuskan nafas perlahan, setelah sebelumnya memejamkan mata, dalam posisi duduk bersila, melingkar. Dan selanjutnya, kegiatan bermeditasi itupun dimulai. Kakak pembimbing menuntun kita untuk berelaksasi, memainkan jiwa istilahnya, untuk mendengarkan dan mengasah kepekaan indera pendengaran kita, dalam kondisi pikiran yang tenang, terhadap sekecil apapun suara yang ada di sekeliling kita. Apappun itu, dan sekecil apapun...
Tahukah anda bahwa rumput yang bergoyang itu ternyata memiliki suara ?Mungkin kedengarannya konyol dan mustahil. Atau angin yang bergerak itupun sebenarnya memiliki rima ?ya, ini apalagi...
Hahaha, well, saya tidak ingin memaksa anda untuk ikut dalam "kegilaan" saya. Toh, sekali lagi, jika kita memiliki paham yang sama, silahkan berkomentar apa saja, sebagai bentuk bahwa anda bereaksi terhadap obrolan ini
Ada satu sessi dimana saya sangat meyukainya. Yaitu ketika sebuah alunan musik diperdengarkan dalam posisi sama seperti tadi (mata terpejam, nafas diatur),dan intstruksinya...bergeraklah sesuai refleksi pemahaman anda terhadap musik tersebut !
Dan anda tahu, apa yang saya lakukan, saya suka sekali menyerupai, lebih tepatnya menirukan, gerakan ilalang yang bergoyang (ok, kali ini bukan rumput, tapi ilalang. Karena dalam pemahaman saya waktu itu, istilah rumput terlalu kerdil untu saya perankan).
Alhasil, saya benar-benar menikmati peran itu...
Tertiup angin, bergoyang, ke kanan, depan, samping, oleng, tertunduk...dan akhirnya terkulai, saya terinjak! Mata terbuka. Dan berakhirlah sessi pada hari itu.
Ok, begitulah saya beberapa tahun yang lalu. Dan pastinya saya sangat merindukan masa-masa itu.
Lalu, apa hubungannya dengan judul yang saya buat di atas ?Mungkin begitu pertanyaan anda. Ya, sayapun pastinya juga akan bertanya seperti itu.
Sekarang, saya tidak ingin menjadi sebuah (istilah satuan saya) rumput atau ilalang lagi. Waktu telah berganti, saya tidak ingin "statis" di satu sisi saja seperti dulu lagi. Keadaan yang stagnan itulah yang akhirnya membuat saya harus rela mengikuti setiap aliran "kondisi", bukan saya!.
Dan kali ini, saya ingin memerankan "peran hujan" itu. Bergerak, ke sana kemari, sesuai kehendak saya, kemanapun saya akan dibawa,karena baik hujan atau angin, keduanya saling melengkapi. Tanpa ada angin, mustahil untuk hujan ditumpahkan oleh awan yang berkabung.
Hujan bisa dimaknai apa saja.Interpretasi saya akan hujan tentu berbeda dengan anda, kamu,kalian, atau siapapun.
Bagi saya, hujan bisa saja merefleksikan ketenangan batin atas klimaks masalah yang mencair, tapi buat yang lain, tidak tertutup kemungkinan, kalau hujan merupakan simbolisasi akan kegelisahan yang mengancam.Jadi wajar,itulah mengapa jika tak sedikit yang takut jika hujan datang,hahaha... Ya, semua sah sah saja.Serba abu-abu, hitam putih..Tak ada yang salah atau dibenarkan. Tergantung sejauh mana persepsi kita akan apresiasi itu.
well, tak banyak yang ingin saya jelaskan lebih lanjut.
Karena, saya tak ingin berlama-lama menunggu, berharap hujan turun, bermeditasi, dan saya pun mulai memerankan peran itu..
Terima kasih,Tuhan...
Nite in Yogya
9:50 26April'09
0 komentar on "Hujan dalam kehidupan hitam-putih..."
Posting Komentar