Bulan Kering di Atas Pasir Kuning
Oleh. Oshie Atami
…Memandang jauh ke tanah seberang…
Tatkala jiwa di rundung petang
Teringat kasih di tangan orang
Ratapi nasib nan kian malang…
Syakban Pertama dalam Pertemuan
“Hanudin !!! Cube liet ke sini”
Seorang anak laki-laki, kira-kira berumur sepuluh tahun menoleh ke arah sumber suara yang dirasakannya memanggil namanya barusan. Ditolehkan pandangannya ke sekitar, tak jauh dari tempatnya berada, seorang anak perempuan, dengan kuncir kuda dan poni lurus hitamnya, tampak melambaikan tangan ke arahnya. Seulas senyum tersungging di wajah polosnya, wajah yang nantinya kan menjelma jadi ruas lelaki dewasa menjelang kedewasaanya.
Segeralah ditujunya suara yang memanggil namanya_ Hanudin. Masih dengan kaki yang berbalur pasir pantai, meskipun sandal jepitnya masih bertengger di kaki kecil yang begitu cerianya menapaki dunia, ia berlari tergopoh-gopoh. Nafasnya masih tersengal-sengal memburu tiap ruas diafragma, seolah-olah menanggung segenap keletihan dari segala aktifitas yang seharian ini telah di lakukannya.
“Ngape moi ?!”
Ditatapnya anak perempuan yang kini telah ada di hadapannya. Meilan, begitulah nama sahabatnya ini. Gadis kecil yang terlahir dengan mata sipit, khas wanita tionghoa pada umumnya.
“Nek tahu dak ku dapet ape ?”
Tak menunggu jawaban yang akan dilontarkan teman sepermainannya ini, mei menunjuk sesuatu yang kini ada di dalam genggaman tangannya. Diacungkannya tepat di hadapan pandangan Hanudin. Hanudin terdiam. Tak ada satupun yang coba untuk dikatakannya. Mulutnya tersekat, bibirnya terkunci.
Mei menatap heran pada Hanudin. Sesuatu yang janggal berhasil ditangkapnya dari wajah Hanudin. Mengapa Hanudin tak gembira pada apa yang baru saja ditemukannya ? Padahal biasanya, Hanudinlah yang paling gembira jika baru saja mengalami keberhasilan yang kini tengah dirasakannya ?
“Moi…”
Dicobanya untuk berbicara, meskipun dirasakannya berat. Kepiasan kini tengah memucati wajahnya. Hanudin menatap nanar pada bungkusan plastik yang kini ada dalam genggaman Amei lan. Bungkusan yang sama sekali tak diharapkannya saat ini.Ditepisnya segala angan buruk, yang kini mulai menghinggapi pikirannya. Tidak, sesuatu yang buruk sama sekali tak diharapkannya terjadi pada perempuan kecil yang kini terdiam mematung di hadapannya.
“Ngape din…Ka dek seneng ok, ku lebih dulu berhasil nangkep e ?”
Hanudin cepat-cepat menggeleng. Akankah diceritakannya semua yang kini membayangi pikirannya pada Mei lan ? Tentang pantangan yang diucpakan dukun laut beberapa jam yang lalu agar masyarakat Tempilang tidak menangkap ikan selama tiga hari ke depan, tentang bala yang bakal didapatkan bagi siapapun yang melanggar pantangan, dan segala kemungkinan buruk lainnya yang mungkin saja akan terjadi di masa depan. Hanudin berusaha keras melenyapkan semuanya. Ia tidak ingin terjadi apa-apa pada kawan sepermainnanya, meilan, yang tanpa sempat diperingatkannya, telah mendapatkan ikan yang kini diperlihatkan padanya.
Hanudin sekali lagi menggeleng. Diputuskannya untuk tidak di ungkapkannya pada meilan. Toh, sebagai orang Tionghoa, apalagi seumuran mereka, mei mungkin tidak akan mengerti dengan hal ini.Batin Nudin.
“Moi…pulang yo..Kelak ama ka nyari ka pulik ke mane-mane”
Mei tersenyum. Nafasnya lega. Setidaknya kekhawatirannya pada Hanudin tidak menghasilkan apa-apa. Tapi siapa sangka, justru Hanudinlah yang kini merasakannya.
Siluet jingga mulai meningkahi bayangan matahari yang mulai bernnjak ke peraduannya, ketika mereka mulai meninggalkan kawasan pantai pasir kuning, yang selama berjam-jam mereka jelajahi.
Dari arah kejauhan, perlahan hanudin menoleh ke arah laut lepas pantai yang terbentang di belakanngya.
Sesuatu ingin coba dibuangnya ke lautan. Sesuatu yang sama sekali tak ingin terjadi ke masa yang akan datang sehubungan dengan pantangan yang mei , kawannya lakukan. Ya…sama sekali tak teringinkan !
****
Tak terasa tujuh tahun terlewatkan sejak kejadian yang terjadi di pantai pasir kuning beberapa tahun silam.
Hanudin menyeka keringat yang merembes di dahinya. Keletihan jelas terpancar di wajahnya. Selesai sudah segala tugas yang dibebankan oleh tetua kampug Tempilang pada segenap pemuda desa, sehubungan dengan acara akbar yang akan dilaksungkan pada ke esokan harinya.
Bulan syakban kini datang. Sesuai dengan tahun-tahun sebelumnya, ketika bulan Syakban datang, masyrakat desa Tempilang beramai-ramai akan melaksanakan ruah kampong, perang ketupat. Sebuah ritual adat yang bertujuan menjauhkan masyrakat desa dari bala. Yang nantinya segala prosesinya akan dilangsungkan di pantai pasir kuning, pantai indah berpasir kuning, yang begitu familiar di kalangan warga Tempilang.Segenap prosesinya, dari mulai penimbangan, ngancak, perang ketupat, nganyot perae, hingga
Taber kampung, semuanya akan dilaksanakan di sana.
Hanudin menatap deretan barisan umbul-umbul warna-warni yang menarik perhatiannya. Mengalihkan segenap kelelahan yang tengah dirasakannya. Setidaknya apa yang telah dilakukannya barusan, tidak mengecewakannya.
“Din,la selesai la gawe kite. Kalau ka nek pulang luk, dak ape-ape dak. Ku agik ade urusan sebentar kek yang lain e”
Hanudin hanya mengangguk pada apa yang Mahmud, pemuda desa seberang, katakan. Hari ini semuanya telah selesai disiapkan. Tinggal menunggu besok datang. Hanudin tak sabar menunggu hari esok tiba, apalagi jika mengingat janji yang akan ditunaikannya pada meilan, perempuan pribumi yang belakangan ini menjadi pujaan hatinya.
Hanudin tersenyum memikirkan apa yang selama ini menjadi keputusannya. Bagaimana reaksi teman-teman sekampungnya, ketika mengetahui meilan lah yang menjadi pilihan hatinya, bukan Rodiah, primadona desa, ataupun aisyah, anak Pak Haji salamah.
“Din…din…, ati-ati, kelak aliong cemburu, amoi e lah kek ka” ucap oneng beberapa hari yang lalu.
Yang jelas apapun pendapat teman-temannya, Hanudin telah begitu merasa pas dengan apa yang menjadi ketetapannya. Ketika dikatakannya pada mei lan, tentang maksud hatinya, yang tak lagi menjadikannya hanya sekdar sahabat di masa kecil, dan segala jawaban yang mei lan berikan untuknya.
Ah…betapa tak inginnya dilupakan saat itu.
Tetapi belakangan hari ini, tak dijumpainya batang hidung amoi-nya itu. Terhitung sejak seminggu yang lalu Hanudin mengajak mei untuk datang ke pesta perang ketupat, yang setiap tahunnya tak pernah absent mereka datangi.
Baru saja Hanudin hendak memikirkannya lebih jauh, sebuah suara tiba-tiba memanggilnya. Hanudin bergegas menyalakan motornya, ketika Halim, adiknya mengajaknya untuk segera pulang ke rumah.
Dan senja pun telah datang.
***
Brakkk !!!
Pintu terbanting. Pintu reyot yang gagangnya pun telah terlepas dari tempatnya. Seorang wanita terisak dalam kesendiriannya, di sebuah ruangan di mana baru saja suara pintu terbanting berasal.
Mei menyeka butiran-butiran bening yang mengalir pelan di wajahnya. Perlahan, sesekali isakan keluar dari tenggorokan, yang dirasakannya tercekat.
“Cemanepun ku dak nek tahu. Ka mesti ngelunasin semuen utang-utang ka kekku. Cemanepun care e. Atau kalau sampai dak, anak gadis ka wo yang bakal ku ambik buat ngelunasin utang-utang ka”
Entah apa yang dipikirkan mei saat ini. Teringat saat di mana, baik apa maupun amanya tak mampu mengatakan apa-apa ketika Baba Fong, bandot tua, yang telah berumur 70-an itu, mengatakan sesuatu yang tak pernah sama sekali di duganya.
Terpikir dalam benaknya, apakah ini, adalah buah dari perbuatan jahat yang dilakukannya di kehidupan sebelumnya, atau mungkin jalan hidup yang telah ditetapkan untuknya.
Bertubi-tubi terjadi padanya, saat dimana, koko Lian, kakak lelaki satu-satunya ditemukan tewas gantung diri di dalam kamar, hanya gara-gara terlilit hutang pada Bandot tua Baba Fong, karena keterlibatannya di meja perjudian dan akhirnya...
Entahlah, apakah mei sanggup memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya pada masa depannya.
Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Pada seseorang yang mungkin mampu membantu mencari jalan keluar dari segala permaslahannya. Dan pastinya membantunya terlepas dari jerat hitam Baba Fong.
Mei bergegas membuka lemari yang terletak di sudut kamar. Sebisa mungkin diusahakannya untuk tak mengeluarkan bunyi sekecil apapun. Ia tak ingin baik apa maupun amanya mengetahui apapun yang sebentar lagi dilaksanakannya, termasuk apapun yang saat ini berkelebat dalam benaknya. Ya, sesuatu yang hanya dirinya yang tahu.
***
Hanudin menatap gelisah ke hamparan pasir pantai yang telah terjamah ombak air laut. Perang ketupat baru saja usai. Namun, seseorang yang diharapkannya belum juga menampakkan batang hidungnya. Seseorang, yang sampai nganyot perae dilaksanakan, dan tetua kampong telah keumandangkan pantangan, belum juga hadir di hadapannya.
Adalah mei, yang kini tengah dinantinya. Padahal seminggu yang lalu, mei telah menyanggupi untuk datang pada hari ini. Bernostalgia pada pertemuan mereka untuk pertama kalinya dulu. Namun…
Hanudin tiba-tiba teringat sesuatu.Sesuatu yang terjadi beberapa tahun silam. Beberapa jam setelah perang ketupat usai, dan tetua kampong mengumumkan pantangan untuk tak menangkap ikan bagi masyarkat kampong. Dan mei..
Ah…Hanudin teringat pada kekawatirannya saat itu. Kekhawatiran seorang anak kecil pada sesuatu yang akan terjadi pada sahabatnya karena melanggar pantangan adat.
Hanudin tersenyum. Sesuatu akan baik-baik saja pada mei. Meskipun hari ini, di perang ketupat tahun ini, ia tak bisa bersama-sama mei. Dan sampai kapanpun, pilihan hatinya tetap tertuju pada mei.
Dermaga Tanjung Kalian, dalam sebuah keputusan
Mei menatap hampa jauh ke depan. Sesekali ditatapnya riak pasang surut air laut yang saling berlomba mencapai tepian dermaga tanjung kalian.
Mei menghela nafas berat. Begitu berat beban yang saat ini dirasakannya. Teringat bagaimana usahanya berangkat meninggalkan kampungnya, tempilang, menuju mentok, tempat di mana ia bisa melepaskan dirinya dari jerat Baba Fong.
Ketetapannya sudah bulat. Sebentar lagi sebuah kapal dagang, akan membawanya menuju palembang. Dia sudah yakin dengan tujuannya, menemui Aliong, pemuda tionghoa, saudagar kaya, yang dulu pernah memintanya pada apanya untuk diperistrinya dan Pemuda yang pernah ditolaknya karena keputusannya memilih Hanudin.
Mei memejamkan matanya. Mengingat kalau seandainya hal ini tak terjadi, mungkin saat ini ia telah bersama Hanudin di pantai pasir kuning. Perang ketupat yang untuk pertama kalinya mempertemukannya dengan pemuda itu, ketika ia bersama apanya berdagang ke sana.
Mei tak tahu lagi dengan apa yang akan dilakukannya sekarang. Tentang perasaan hanudin yang mugkin akan sangat kecewa dengan keputusannya ini, dan tentang reaksi Aliong yang mungkin telah sangat kecewa dengan keputusannya dulu. Tapi, yang pasti semua ini dilandaskannya untuk menolong ama dan apa-nya dari jerat hutang Baba Fong.
Hanya itu, tak lebih.
Sirene kapal dagang membuyarkan lamunan mei. Sebentar lagi ia akan meninggalkan pulau bangka. Entah kapan dia akan kembali menjijakkan kaki kembali ke pulau ini. Bagaimanapun juga tanggung jawabnya belum usai, masih ada ama dan apa-nya di sini.
Mei bergegas mengangkut tas besar tuanya menuju kapal.
Untuk terakhir kalinya, ditatapnya sekali lagi ke belakang. Hatinya perih. Teringat kalau saat ini, di sebuah tempat, seorang pemuda tengah menunggu kehadirannya. Kehadiran yang sampai kapanpun tak kan dapat tertunaikan.
***
Pasir Kuning, sepuluh tahun kemudian…
Matahari kian beranjak turun. Membiaskan siluet oranye yang pantulannya begitu berkilau di hamparan karpet biru_banyu, membuat hati siapapun yang memandnagnya ikut terbiaskan pesona yang coba di tampilkannya. Sementara itu cakrawala sore mulai menggulung layarnya yang sesaat lagi akan dibentangkannya dalam temaram malam.
Sebuah kesibukan akbar baru saa usai digelar. Kesibukan yang tiap syakban datang, ia begitu gempita di selenggarakan.
Seorang pemuda, setengah baya menatap nanar ke laut lepas. Hamparan pasir pantai yang senantiasa beradu dengan riak ombak yang berlomba mencapai daratan, tetap tak mampu menghanyutkan segala rasa yang tertambat dalam relung jiwanya, terdalam.Dicobanya untuk sekali lagi membuang memoir lama dalam tiap byte memori otaknya ke luas hamparan air laut yang terbentang di pelupuk matanya, namun…entah, teramat sulit dilakukannya !
Camar laut yang mulai menukik halus, membelah horizontal fatamorgana garis cakrawala, dirasakan Hanudin begitu mengejek segala ketidakberdayaanya saat ini. Ketidakberdayaannya menentang nasib dan hukum alam yang telah biarkannya terus dirundung malang. Tapi, itulah seleksi alam !. Prosesi hidup yang evaluasikan siapa yang mampu bertahan dalam segenap kekurangan, keterbatasan, serta ketidakberdayaan makhluknya.
Beberapa tahun yang lalu, sebuah kabar sampai di telinganya. Kabar yang akhirnya membuatnya berada dalam penantian, sebuah penantian yang takkan pernah tertunaikan. Mei meninggal dalam perjalanannya menuju palembang. Kapal yang ditumpanginya tenggelam hingga menewaskan seluruh awak kapal dan penumpangnya. Begitu yang ia ketahui dari Baba Mei.
Masih Hanudin ingat. Saat di mana ia pernah khawtir dengan pelanggaran yang telah Mei lakukan beberapa jam seteleh tetua kampong mengumumkan pantangan untuk tak menangkap ikan.Dan kekhawtiran itulah yang kini malah jadi kenyataan.
Din memang tak sepenuhnya yakin dengan akibat yang terjadi pada mei karena pelanggaran itu. Yang jelas din yakin, apapun yang terjadi pada mei, dan padanya, semuanya adalah kehendakNya, kehendak yang tak seorang manusia pun yang mampu menduganya.
Din menghela nafas panjang. Perang ketupat baru saja usai. Entahlah, apakah di perang ketupat tahun depan, Din mampu berada dalam penantiannya ini. Penantian yang ia tahu, sampai kapanpun, tak kan pernah tertunaikan.
Senja telah beranjak turun. Dari arah kejauhan, di luas cakrawala yang telah beranjak membentangkan layarnya, Din menatap hampa pada bulan yang bersembunyi di balik temaram jingga. Hingga ia rasakan kehampaan di sana.Kehampaan yang teramat sangat. Di saat ia menatap hampa, pada bulan yang tersenyum kering di ujung pantai pasir kuning.
_selesai_
Catatan :
1. Tempilang : nama kota kecil di Pulau Bnagka, tempat diselenggarakannya adapt Perang ketupat. Dan pantai pasir kuning adalah nama pantai tempat berlangsungnya pesta adat Perang Ketupat.
2. Penimbangan : Ritual pemberian makanan kepada makhluk halus yang dipercayai bermukim di darat, di mana tiga orang dukun secara bergantian membacakan mantra-mantra, pemanggil makhluk halus penghuni wilayah darat yang dipercayai sebagai penaga kampong terhadap serangan makhluk jahat dari luar desa Tempilang.
3. Ngancak : Pemberian makanan kepada makhluk halus yang bermukin di laut, terutama siluman buaya.
4. Perang ketupat : Peperangan ketupat antara dua kubu yang bertujuan untuk memerangi makluk halus jahat yang menggangu masyarakat.
5. Nganyot perae : prosesi menghanyutkan perahu kecil berisi makanan, seperti ketupat dan lauk pauk oleh dukun laut yang dimaksudkan untuk memulangkan tamu-ytamu makhluk halus yang datang dari luar desa Tempilang.
6. Taber Kampung : Penutup dari seluruh prosesi upacara yang bertujuan memasang tasak besek dan buyung sumbang.
7. Pantangan-pantangan pasca perang ketupat bagi masyarakt kota Tempilang selam 3 hari terhitung sejak perang ketupat dilaksanak diantaranya menangkap ikan di laut dengan cara apapun, memukul kain ke air, mencuci kelambu di sungai/laut dll, yang jika melanggar diyakini akan mengalami bentuk kecelakaan di laut.
Sabtu, 28 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar on "Tulisan Pas EsEmA"
Posting Komentar