Malam beranjak turun, pada akhirnya langit memberanikan diri untuk mengatakan semuanya pada kwang jo. Sekalipun yang diajak bicara tidak sepenuhnya sadar dan mendengarkannya. Kwang jo mabuk berat. Ini kali pertama bagi langit mendapati, dan bahkan membuatnya membelah jalanan kota seoul dini hari. Beruntung seorang laki-laki yang tak dikenalnya, yang tak lain tetangga sebelah kamar ini, bersedia mengantarkannya ke tempat dimana seseroang memberitahukan bahwa langit sebaiknya menjemput kwang jo pada saat itu juga.
“kau kira kau tidak menyusahkanku ?”
langit berbicara pada kwang jo yang saat ini tengah diseretnya.
Kakinya terhenti tepat di depan pintu kamar kwang jo.
“jangan pernah masuk ke sini tanpa
izinku terlebih dahulu”
Langit masih ingat kata-kata itu
beberapa jam yang lalu.
Diurungkannya untuk melangkah lebih
jauh lagi.
Langit kembali memapah dengan sebelah
bahunya. Tubuh kwang jo terasa berat, bergelayut di pundaknya. Bau
alkohol menyengat, menusuk hidung.Membuat langit memilih untuk
menahan nafas dalam beberapa detik. Langit tak cukup tahan dengan bau
alkohol,karena hanya akan membuat isi perutnya bergejolak.
Beberapa detik kemudian, langit
memutuskan untuk meletakkan kwang jo di kamarnya sendiri.
“kajimaa.....” kwang jo kembali
berbicara tak jelas.
Dengan susah payah langit memindahkan
tubuh kwang jo ke atas kasur , tak lain adalah alas tidurnya. Kantuk
itu kini tidak terasa lagi. Dilepasnya kaos kaki yang melekat di kaki
kwang jo. Dibukanya jaket yang menutup tubuh kwang jo dengan susah
payah.
“jaebal..kajimayo...”
Langit menatap kwang jo iba. Ia merasa
seperti di drama-drama yang ditontonnya. Keadaan mabuk seseorang
nyaris sama seperti yang dilihatnya di layar kaca. Bedanya, langit
memutuskan untuk tidur di ruang tamu depan. Bukan memilih tertidur di
samping “orang mabuk”, seperti yang dilihatnya di drama.
“Kalau tidak ingat bahwa kau adalah
satu-satunya orang yang bisa kuharapkan di negeri ini, tentu hal ini
tidak mungkin akan kulakukan. Setelah mengingat-ngingat apa yang
sudah kau katakan kepadaku satu hari ini”
Langit menceracau sendiri. Di dalam
hati kecilnya, tentu hal yang baru dikatakannya barusan tidaklah
benar-benar mewakili perasaannya. Entah karena ini kali pertamanya
dia menolong dan memapah orang yang tengah mabuk berat , atau memang
kondisi kwang jo yang “memprihatinkan” dengan sesekali terisak di
tengah keadaan mabuknya ini membuat langit tiba-tiba merasa kasihan.
Langit mengambil selimut berwarna pink
yang terlipat rapi di belakang kepala kwang jo, untuk kemudian
menutup tiga perempat tubuh kwang jo. Pelan-pelan langit mengambil
kacamata yang masih melekat di kwang jo,
Dan betapa kagetnya langit, tiba-tiba
tangan kwang jo meraih tangannya . Badannya tertarik menuju kwang jo.
Hidungnya nyaris bersentuhan, tapi untung saja,satu tangannya yang
lain lebih sigap menahahan tubuhnya agar tak benar-benar jatuh.
“kajimayo...” suara itu kembali
terdengar. Kwang jo benar-benar sedang tak sadarkan diri.
Buru-baru langit menarik badannya.
Meletakkan kaca mata tepat disamping kepala kwang jo.Nafasnya
memburu. Ini kali pertama dia berhadapan sebegitu dekat dengan kwang
jo. Mereka nyaris bersentuhan.
Buru-buru langit menjauhkan dirinya
dari kwang jo yang kini mulai kembali tertidur.Langit menatap kwang
jo. Entah karena cuaca panas summer di seoul, atau memang pendingin
ruangan sedang tidak dihidupkan, langit merasa peluh keringat
membanjiri dahinya. Tapi ia merasa dingin.
Detik berikutnya, langit memutuskan
untuk berjalan menuju ruang tamu. Mematikan lampu, dan menutup pintu
kamarnya. Langit memilih untuk tidur di ruang tamu. Memang tidak ada
kasur, selimut. Satu buah bantal duduk diletakknya di bawah kepalnya.
Lantai kayu tak mebuatnya terasa dingin berbaring tanpa alas.
Tiba-tiba langit menatap langit malam di luar sana dari balik
jendela yang tak tertutup tirai setengah. Sejak mereka tiba disini
berapa menit yang lalu, ruangan ini memang dibiarkan untuk tetap
gelap.
“kyaaaaaaa !!!!”
Suara itu berasal dari kamar bernomor
426.Memecah keheningan pagi yang baru menunjukkan pukul 8 waktu
setmpat. Setara dengan jam 6 pagi di indonesia. Masih terbilang pagi.
Pemilik suara itu tak lain adalah langit.
“Ya! Harus berapa kali kukatakan,
kalau kau mau masuk ke ruangan yang pintunya tertutup,kau sebaiknya
mengetuk pintu terlebih dahulu”
Kwang jo berbicara pada langit yang
terdiam membeku di depan pintu kamar mandi. Kwang jo baru saja
menyelesaikan kegiatan mandinya.
Langit membalik badannya secepat kilat.
Apa yang baru saja dilihatnya adalah hal yang lagi-lagi kerap
ditemukannya di sebuah drama.
‘Dan kau seharusnya mengunci pintunya
ketika kau mandi” ujar langit. Ia tak berani membalik badannya ke
belakang.
Kwang jo buru-buru melilit setengah
badannya dengan handuk. Dia membiarkan setengah badan atasnya
topless. Kalau saja dia tidak ingat bahwa ada orang lain di
apartemennya saat ini, tentu dia akan bersikukuh bahwa sejak ia
tinggal sendiri di apartemen ini, adalah sebuah hal yang wajar jika
dia mandi tanpa mengunci pintu terlebih dahulu.
“Jogiyo,. Aku mau ke kamarku” kwang
jo berbicara pelan. DI sisi lain, hal yang baru saja terjadi tentu
membuatnya malu jika harus berhadapan mata untuk saat ini ke langit.
Beruntung langit memilih untuk tetap tak membalikkan badannya, langit
bergesar pelan , memberikan ruang agar kwang jo bisa lewat . Jarak
kamar mandi, dan dua kamar yang mengapit disebelahnya memang tak
menyisakan ruang. Keduanya berdempetan.
Dengan cepat, kwang jo masuk ke dalam
kamarnya. Untuk kemudian buru-buru menutup pintu. Hal yang sama
dengan yang dilakukan oleh langit. Insting biologis untuk buang air
kecil begitu terbangun adalah ritual wajib yang dilakukannya di awal
hari.
Setelah “urusannya” kelar ,Langit
membuka keran air di wastafel, membasuh mukanya. Segarnya air
membuatnya tak merasakan kantuk yang hebat lagi. Ia hanya tertidur
selama berapa jam.
Ditatapnya bayangan wajahnya di cermin
yang berada sejajarnya dengannya, di atas wastafel. Wajah dan
setengah rambutnya basah. Ingatannya tiba-tiba melayang menuju
kejadian semalam.
Tarikan tangan kwang jo. Badannya yang
nyaris terjatuh. Dan..jarak minim penglihatannya dengan kwang jo...
“aaa, ani ani” langit menggelengkan
kepalanya secepat kilat. Diusirnya jauh-jauh bayangangan itu.
Buru-buru ia kembali membasuh mukanya. Ia berharap, kejadian itu
tidak akan pernah terulang lagi.
Sebuah suara ketukan pintu tiba-tiba
menyadarkannya.
“langit-ya, apakah kau di dalam kamar
mandi ?”
Pemilik suara itu tak lain adalah kwang
jo,. Ingin sekali langit menjawab pertanyaan itu dengan : “menurut
lo?”. Tapi diurungkannya.
“ne..wae ?” langit setengah
berteriak, bunyi pancuran air dari keran cukup membuatnya untuk lebih
membesarkan suaranya.
Lebih tepatnya, langit berusaha sebisa
mungkin membuat agar suaranya tetap bisa didengar kwang jo, tanpa
harus ia keluar dan mengatakannya.
“lekaslah mandi. Setengah jam lagi
kita akan berangkat”
Berangkat ? Ke mana ?
“mwo ?? odi kayo ?”
“Kita akan jalan-jalan keliling
seoul. Agar besok kau bisa bepergian sendiri tanpa harus kutemani.
Hari ini aku libur kerja”
“mwo ??” langit kali ini
benar-benar berteriak. Bukan karena dia tidak bisa mendengar
kata-kata kwang jo barusan. Tapi melainkan karnea Langit terkejut.
Satu hari sebelumnya kwang jo begitu
menurunkan mood pertamanya di korea, dan pagi ini semuana berubah
cepat dalam hitungan detik sejak insiden langit mendapati kwang jo
hanya mengenakan underwear begitu tanpa sengaja dan babibu langit
menerobos masuk ke kamar mandi...
Langit menoleh ke arah pintu. Kini dia
dan kwang jo tengah berhadapan, terhalang oleh pintu kamar mandi
“aisss...sinca, ababil-iyeyo”
“marhaesso ?”
Suara kwang jo kembali terdengar.
“aa,anio..Ne,nan pallihaelkoyeyo”
Langit buru-buru melangkah menuju
bagian shower.Membuka bajunya, dan menyiramkan shower ke atas
kepalanya. Keramas tiap pagi adalah hal wajib baginya, karena
rambutnya akan cepat lepek dengan sangat mudah. Baru saja dia hendak
mengambil shampoo yang tergelatak di rak peralatan mandi, tiba-tiba
langit ingat. Ia lupa kalau belum mengambil handuknya di kamar !.Dia
tak membawa handuk karena terburu-buru !
Pikiran bahwa kwang jo masih berada di
luar sedikit mengurungkan langkahnya untuk menuju kamarnya.
“aku akan menunggumu di kafetaria di
lantai satu.”
Puhh..langit menghela nafasnya lega.
Dan menjawab “ne..arassoyo” dan detik berikutnya menunggu untuk
memastikan bahwa kwang jo benar-benar telah berjalan keluar dari
kamar apartemennya.
0 komentar on "Loveable Namsan (ep. 7)"
Posting Komentar